Neobux

Sunday, February 17, 2013

Waktu yang Tak Tepat

Satu menit lalu, saat kutuang butiran kopi dari bungkus plastik ke dalam gelas sambil berjalan ke arah water dispenser, aku berpikir tentang kejadian kemarin. Memberikan selembar uang Rp. 50.000 kepada seseorang yang aku tidak kenal, yang tiba-tiba saja datang mengetok pintu dan menyodorkan selembar kertas berisi daftar dengan nama, jumlah nominal uang, dan tanda tangan.
Ya. Aku memberi dia uang begitu saja. Padahal jelas dompetku sedang dalam kondisi memprihatinkan. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja aku memberikan selembar uang warna biru itu ke dia. Entah siapa namanya, aku bahkan tak bertanya sekalipun. Tiba-tiba saja dia datang naik motor, berhenti di depan kontrakanku, memberi salam sambil melihatku dari sela pintu yang memang kubuka sedikit sore itu. Istriku yang hanya memakai celana pendek langsung saja kabur ke dalam kamar. Dia, laki-laki itu, mengatakan kalau akan ada semacam pertemuan atau acara entah apa itu yang akan diadakan oleh RT lingkunganku, dan meminta sumbangan. Dia langsung menyodorkan selembar kertas yang kulihat sekilas, berisi nominal Rp. 100.000 dan Rp. 50.000. Waduh.. Tak ada yang memberi sumbangan Rp. 10.000 atau sekitar itu. Aku tak begitu memperhatikan daftar nama-nama yang tercantum, karena reflek saja, toh aku tak kenal nama-nama itu. Aku tak kenal tetangga kontrakan yang baru kudiami sekitar 4 bulan ini. Bahkan tetangga kontrakan sebelah persis ini pun aku tak tahu siapa namanya.
Siang sebelumnya, aku baru saja menarik uang Rp. 100.000 dari ATM. Uang hasil kerja di internet selama seminggu. Tak kuambil semuanya memang, karena berapapun yang ada di dompetku, biasanya akan habis sama lamanya. Aku cuma mengambil sejumlah itu. Lalu kubelikan sebungkus rokok, itu saja. Rencanaku, aku tak perlu ke ATM lagi dalam beberapa hari kedepan sampai saatnya dapat hasil lagi dari internet, yang biasanya setiap hari rabu.
Apa lacur, sore itu, mendadak dengan begitu saja aku memberikan selembar limapuluh ribuan, antara ikhlas dan tidak. Aku seperti kerbau dicucuk hidungnya ketika dia menyodorkan daftar itu. Eh.. tentang nominal sebesar limapuluh ribu itu, bahkan aku didikte. Laki-laki itu bertanya siapa namaku -yang langsung kujawab- dan kemudian menuliskan angka Rp. 50.000. Aku sedikit terkejut. Kutanya, "Oh, harus limapuluh ribu ya?" Dia menjelaskan, kalau itu sudah angka minimal kesepakatan. Wow... daerah sini hanya kampung biasa saja, dan angka Rp. 50.000 kurasa terlalu besar untuk kalangan ini. Tapi bodohnya, alih-alih mencoba negosiasi, aku justru mencari uang sejumlah itu, kuraba saku celanaku dan kukeluarkan lembaran yang langsung berpindah ke tangannya.
Sekian menit setelah laki-laki itu pergi dengan sepeda motornya, aku masih sedikit termangu. Mencoba bertanya-tanya sendiri, apakah memang benar akan ada kegiatan RT malam minggu besok? Aku pergi keluar, mencoba menengok jalanan kearah laki-laki itu pergi menjauh. Tak kelihatan apapun kecuali anak-anak bermain layang-layang. Aku mencoba untuk tidak su'udzon, berburuk sangka, tapi beberapa pertanyaan terus ada dalam pikiranku. Apa iya benar itu permintaan sumbangan RT? Meskipun aku tak kenal dengan warga sini, tapi bahkan muka laki-laki itu aku rasanya tak pernah melihatnya di lingkungan ini. Dan istriku menambahkan dugaan dengan pertanyaan, minta sumbangan RT masa sih pake motor? iya ya, kan hanya sekitar sini. Lingkungan RT, berarti tentu tak akan sampai sekian ratus meter jauhnya dan tak perlu pakai sepeda motor. Kalau itu bukan sumbangan RT, aduh.. kenapa aku bisa dengan mudahnya tertipu?
OK, kalau itu memang penipuan, sungguh lihai. Laki-laki peminta sumbangan itu begitu santai dan meyakinkan raut mukanya. Tak ada gerakan gugup atau apapun. Kalau itu memang penipuan, kok aku yang jadi sasaran? Apakah dia memang sudah mengamati lingkungan disini dan tahu kalau aku hanya pengontrak yang jarang bersosialisasi dengan warga? Kalau iya, berarti aku sudah diamati, aku sudah menjadi target. Waduh...
Tadi pagi aku bilang ke istriku, "wah kok aku masih kepikiran sumbangan kemarin ya?" Dia cuma bilang, "ya udah sih, nggak usah dipikirin."
Ya memang, dipikirkan bagaimanapun juga, uang itu tak akan kembali begitu saja. Persoalannya adalah, kok aku mudah saja memberikan? Kok aku tidak mencoba nego, atau beralasan apapun untuk menolak atau menunda memberikan sumbangan? Kok aku tidak bilang, "oh, saya lagi nggak pegang uang mas, tapi nanti saya langsung ke Pak RT saja untuk kasih sumbangannya."
Aku berpikir lagi tentang uangnya, berpikir mengapa aku yang jadi sasarannya? Atau..apa itu memang bukan rejekiku? Apa ini sebuah peringatan bahwa aku mungkin kurang berbagi dengan sesama, aku mungkin kurang bersedekah?
Sekian banyak pertanyaan, pengandaian, dan rangkaian-rangkaian lain terus muncul dan saling singgung di otakku. Uh...