Neobux

Sunday, April 30, 2006

rumah negeri-senja

Orang satu ini, saya belum pernah ketemu. Cuma lihat wajahnya yang di-upload di weblognya. Dan baca beberapa tulisannya di tabloid tempat dia bekerja. Tetapi setiap saya mampir ke "rumah"nya ini, saya selalu merasa lebih dekat. Di posting terakhir tulisan dia, saya sempat memberi satu comment.

Membaca tulisan dia juga selalu menciptakan dorongan saya untuk mengisi "rumah" saya ini dengan kata-kata. Meskipun tidak semeriah dan semenarik tulisannya, pula tak pernah bepergian kemanapun kecuali ubak-ubek di Purwokerto saja, rasanya tetap ada yang ingin saya tulis disini tanpa peduli akan dibaca atau tidak oleh orang lain.

Sepertinya memang hari-hari kedepan saya akan lebih jarang lagi ke warnet. Tentu saja karena pekerjaan ganda yang saya jalani menjadikan waktu yang tersisa menjadi semakin sempit, dan lebih penting lagi, saya berusaha untuk menjalankan program penggemukan badan. Satu cara yang ampuh, mengurangi kadar nikotin di dalam tubuh, dan tidak begadang.

Malam ini, pengecualian. Ini malam minggu, jadinya yaa.... rada bebas. Apalagi seseorang yang jauh di barat sana hari ini sama sekali tak menelepon ataupun berkirim pesan singkat lewat telepon selular. Saya sih (mencoba) maklum, mungkin hari ini dia sibuk sekali.

Alhasil, adik tercinta yang tinggi badannya hampir menyamai saya itu saya tinggal di kamar, tidur sendirian, dan saya melarikan diri dan menghabiskan waktu semalaman di warnet.

Tidak ada yang istimewa, kecuali saya sudah potong rambut. Hahahaha......
Yang jelas, besok senin, orang-orang kantor akan kembali berkomentar soal rambut.
Peduli ah...

Saturday, April 22, 2006

Djokdja....

: ipam


Bagi saya, Djokdja kemarin itu adalah cuma kamu. tanpa kamu, tidak ada djokdja dalam ingatan saya. Dan kebetulan waktu itu ada perasaan aneh "feeling blue" atawa "melo (melankoli)" menyerang saya. jadi yaah... begitulah.
Seperti saat ini, untuk kesekian kalinya saya terkena saturday-night syndrome. Perasaan ini tiba-tiba menjadi aneh, menjadi mudah sedih, gampang tersinggung dan menjadi marah.

Sekian jam di Djokdja waktu itu, sama sekali tidak memuaskan kehausan saya atas rindu menggebu yang saya pendam. Berhari-hari, berjam-jam sebelum akhirnya kita ketemu, saya --terusterang-- menyimpan banyak sekali keinginan dan harapan yang bisa kita wujudkan dalam --hanya-- sekian jam pertemuan. Tentu saja, karena saya menyadari betul kalau kita berdua mempunyai waktu yang sangat pendek. Kehidupan dan kepentingan kita sudah berbeda satu sama lain.

Apa yang saya khawatirkan ternyata benar terjadi, bahwa urusan-urusanmu yang sebenarnya sedikit itu akhirnya menyita banyak waktu karena tiap detik yang berlalu dialokasikan dengan kurang tepat.

Apa yang saya bayangkan tentang sebuah pertemuan kita adalah: ngobrol banyak hal dengan tenang, dengan secangkir kopi dan sebatang rokok terselip di tangan. mengingat banyak hal dari masalalu dan membicarakannya sambil tertawa-tawa, merenung, mengerutkan kening, tertawa lagi, terheran-heran.. dan banyak ekspresi lainnya. Kita juga ngobrol tentang apa yang kira-kira akan terjadi, membayangkan bila hal yang kita bayangkan itu benar-benar terjadi, menciptakan film pendek pada ruang yang kita bangun berdua dengan skenario yang kita susun bersama. Kita akan membicarakan rencana-rencana, angan-angan, cita-cita, khayalan. Dan juga ada diskusi tentang banyak hal serius dan berbau filosofis, sedikit mengenangkan sebuah rumah di kampung Pedan, Klaten.

Saya sebenarnya ingin egois. Merebut dirimu untuk hanya menjadi milik saya sendiri dalam sekian jam itu. Saya tidak rela untuk membagi dirimu dengan teman-teman lain. Tetapi tentu saja itu tidak akan berhasil. Dan pastinya bukan suatu kedewasaan. Dirimu juga dirindukan banyak teman-teman lain. Meskipun apa yang mereka inginkan sama sekali tidak saya sukai.

Djokdja masih saja berisi mahasiswi yang cara berpakaian dan lenggak lenggok gaya nya semakin eksotis, bar yang menyajikan minuman keras seharga puluhan sampai ratusan ribu, diskotek yang hingar-bingar, lesehan gudeg jalan solo dengan beberapa penjualnya yang dengan pura-pura tidak menyadari bahwa payudaranya dipertontonkan dengan sensual. Tetapi itu bukan Djokdja yang saya inginkan

Djokdja juga masih diramaikan dengan pentas seni berupa pembacaan puisi, teater, pameran fotografi, acara musik. Di banyak keremangan juga masih ada diskusi non formal dari wajah bersahaja dengan kaki dinaikkan satu ke atas kursi, menyeduh kopi panas, nyemil gorengan dan asap rokok kretek menguap dari terpal penutup seadanya di angkringan. Diskusi ngalor ngidul beragam topik, dari susahnya hidup sampai masalah politik. Mahasiswa, seniman, wartawan senior, politikus, semuanya hilang di bawah terpal itu. Semuanya melebur menjadi orang biasa.

Itu lah wajah Djokdja yang sebenarnya saya impikan. Tapi, begitulah. Saya tidak boleh menjadi arogan dengan membawamu paksa memasuki kehidupan dan ruang yang kita bangun hanya berdua. Teman-teman lain juga sabar menantimu membagi waktu dengan mereka.

Di Airport itulah, kantuk dan kepala yang terasa berat setelah bersloki-sloki minuman tertenggak semalaman, terpaksa dipinggirkan. Kita punya sisa waktu setengah jam untuk menuangkan perasaan, untuk meluapkan rindu. Hanya setengah jam itulah saya bisa menyandarkan berat beban tanpa harus mengatakan apapun.

Saturday, April 01, 2006

Karyawan = Buruh ??

Bahasa Indonesia memang suka bermain main. satu ungkapan yang sama diberi label tingkatan dengan mempertimbangan kedudukannya di tingkat sosial dan sebagainya dan sebagainya.

Apakah istilah karyawan bisa disamakan dengan buruh? Sebagian orang boleh jadi menolak. Karyawan itu untuk seseorang yang bekerja dengan (cenderungnya) menggunakan otak. Sementara buruh (cenderungnya) menggunakan otot.
Maka kesan yang didapat adalah bahwa yang namanya karyawan itu berpakain bersih, rapi, tidak keringetan, dari pagi sampai sore bubar kantor masih wangi. Sementara buruh adalah yang berpakaian sederhana, karena lebih banyak menggunakan otot, maka lebih berkeringat juga, baru tengah hari pakaian sudah kusut tidak keruan. Dan jelas, ketika bubar kantor / pabrik, bau keringatnya menyebar kemana-mana.

Susahnya adalah, ketika dunia ekonomi mengalami krisis, para pemilik modal jelas mengetatkan ikat pinggang mereka untuk mengurangi biaya perusahaan yang salah satunya memecat alias memPHK orang-orang yang bekerja dengannya. Dan yang tersisa, tugasnya menjadi lebih berat. Si pekerja ini akan dituntut bisa bekerja dengan menggunakan otak dan menggunakan otot. Soal gaji? wah... mikir seribu kali untuk menaikkannya. Padahal, praktis keuntungan si pemilik modal hanya berkurang sedikit saja. Kalau sudah seperti ini, istilah karyawan dengan buruh menjadi rancu.

Dimanapun, di perusahaan apapun, seseorang yang bekerja dengan yang mempekerjakan mempunyai pola pikir yang berbeda. Kecenderungannya adalah seorang yang bekerja itu terus mengeluh karena penghasilan yang diterima selalu merasa kurang dibandingkan dengan biaya hidup yang semakin dan semakin tinggi setiap hari.
Sementara seseorang yang mempekerjakan akan terus berpikir :
"Memangnya kamu siapa, memaksa saya untuk mengeluarkan gaji seenaknya buat kamu ?!"

Kalau sudah seperti ini, wah... jelas komunikasi antara bos dengan bawahan sudah tidak harmonis.

Apalagi kalau ditambah dengan sebagian pekerja yang mempunyai pemikiran, saya harus selalu memberi kesan dan pengabdian terbaik terhadap perusahaan dan bos agar saya diperhatikan lalu bisa naik jabatan dan penghasilan pun bertambah
.
Hm... itu sih bagus ya. Tapi lain cerita kalau untuk tujuan itu, ternyata dia menyikut, menendang, memukul, menusuk teman dari belakang.

Itu namanya : BANGSA(T) PENJILAT.

Percayalah, dimanapun akan tetap ada orang yang seperti itu.