Neobux

Thursday, January 22, 2004

Pedang dan Bulan-Bintang

Ada sesosok bulan-bintang yang tiba-tiba saja, pada suatu malam, sinarnya turun menyentuh tanah pada bumi. Menggariskan laksa sketsa putih pada sebilah pedang yang tertancap tajam di batu.
bulan-bintang itu ingin turun, dan memberikan segala sinarnya pada pedang itu. tapi....bukankah itu menyalahi hukum alam?
bila bulan-bintang turun, maka dapatkah pohon mempunyai bayang pada malam hari? dapatkah air laut bergolak karena tertarik gravitasinya? dapatkah seekor kera bercermin pada hulu sungai yang jernih dan terang saat matahari pergi entah kemana?
dapatkah bulan-bintang turun kebumi, merangkul pedangnya untuk hanya pedang itulah yang mendapatkan sinarnya?

pada malam yang penuh dengan pertanyaan.

Tuesday, January 20, 2004

Planet Krypton

East Jakarta, Jan 20 04

Sesaat setelah makan pada jam istirahat –tengah malam persis-, dengan rokok yang masih menyala, aku pergi ke jendela dan memandang kerlip lampu dari pabrik-pabrik, tiba-tiba aku merasa seperti Superman yang berada di planet krypton. Ide-ide untuk menulis yang sudah tertahan sejak dari rumah (rumah ???) mendadak lenyap.

Aku mengaduk-aduk isi otak dan mencoba menajamkan perasaan. Kupandangi areal pabrik yang tengah dibangun; lampu eskavator; gerak forklift; tajamnya lampu sorot,adakah yang dapatr membangkitkan kemampuan metaforisku?

Bagaimanapun aku tetap mengambil kertas dan pulpen dari saku celana. Meskipun akhirnya satu bait puisi selesai, aku tetap bingung kemana tujuan penulisanku dan siapa / apa yang terpikirkan?
Demi malam yang selalu berganti pagi, kekuatan apa yang dimiliki tempat ini hingga pikiranku sedemikian kuat terbelenggu?

Di mushalla yang sederhana, yang selalu dipakai beberapa orang untuk tidur ketika mendapat shift malam, sekali lagi aku mencoba menulis. Tetap saja tidak berhasil. Beberapa orang teman masuk, dan salah satunya merebahkan diri di sampingku,
"eh…aku boleh tanya sesuatu?"
"ya, tentu saja.” Kupandangi ia, mencoba menerka kira-kira apa yang akan keluar dari mulutnya"
"mmm…kamu, waktu kecil diajari agama nggak?"
Aku terkejut. Selama beberapa detik wajahku sepertinya sangat kaku. Lalu cepat-cepat kulemparkan senyum padanya.
"kenapa tanya soal itu?"
"ya…nggak pa-pa. Uh….nggak dijawab juga nggak pa-pa kok." Dia cepat-cepat mengubah harapannya dengan tetap menjaga intonasi yang pelan dan rendah.
"kalau begitu aku pilih untuk nggak menjawab." Kataku sambil tetap tersenyum.

Aku mengeluh dalam hati; kujelaskan dengan cara seperti apapun, kalian takkan dapat memahaminya.
Selera menulisku semakin hilang setelah itu. Aku mencoba telentang dan memandang langit-langit. Baru kusadari ternyata langit-langit pabrik ini dilapisi kertas berwarna perak mengkilat, mungkin semacam aluminium foil. Dan aku semakin merasa seperti Superman di planet krypton.

Friday, January 16, 2004

Ringan dan Berat

Jika setiap detik dari hidup kita berulang tanpa batas, kita terpaku pada keabadian seperti halnya Isa yang dipaku pada salib. Sebuah hal yang sangat mengerikan.
Dalam dunia dengan perulangan abadi, bobot tanggung jawab yang tak tertahankan terletak pada setiap gerakan yang kita lakukan. Inilah yang menyebabkan mengapa Nietzsche menyebut gagas perulangan abadi sebagai beban yang teramat berat ( das schweste Gewicht )
Apabila perulangan abadi adalah beban terberat, hidup kita akan terus berlangsung menurut cara yang sungguh enteng (atau berat).
Namun apakah beratnya hidup patut disesalkan dan entengnya hidup itu sungguh baik?
Beban-beban yang terberat menabrak kita, kita tenggelam di bawahnya, beban-beban itu menekan kita hingga ke bawah. Akan tetapi dalam sajak cinta sepanjang masa, wanita rindu ditekan tubuh pria. Oleh karenanya secara simultan beban terberat adalah suatu gambaran mengenai pemenuhan hidup yang paling intens. Semakin berat, semakin dekat hidup dengan dunia, semakin nyata dan benar pula hidup itu.
Tiadanya beban secara absolut menyebabkan orang menjadi lebih ringan daripada udara, terbang membubung ke angkasa, meninggalkan dunia dan hakikat duniawinya, dan menjadi setengah riil, gerakannya sebebas ketakberartiannya.
Manakah yang kita pilih? Yang berat atau yang ringan?
Parmenides pernah mengajukan pertanyaan ini pada abad ke enam sebelum Masehi. Ia melihat dunia terbagi dalam pasangan yang berlawanan : terang/gelap, halus/kasar, ada/tiada. Oposisi yang satu disebut positif (terang, halus, ada) dan yang lainnya negatif. Dengan entengnya kita dapat mengelompokkan pembagian ini ke dalam kutub positif negatif, tetapi yang paling sulit adalah menentukan mana yang positif dan mana yang negatif.
Parmenides menjawab: yang ringan positif, yang berat negatif.
Apakah dia benar atau salah? Itulah persoalannya. Satu-satunya kepastian adalah oposisi yang ringan/yang berat adalah oposisi yang paling berat dan yang paling ambigu.

Wednesday, January 14, 2004

Percintaan Kata-Kata

Aku mencoba melihat apa yang tak terlihat, membaca apa yang tersirat pada sekian banyak kata-kata yang muncul mencuat di layar bening berkedip, membawa bayanganmu, menyusunnya lewat serat dan menghadirkanmu dalam bentuk yang selalu saja tak pernah bisa terusung dengan sempurna dihadapanku. Terciptalah asa dan impian yang meski semu adalah menjadi indah untuk direbahkan diatas busa kasur sebagai teman saat mata terpejam.
Lembar demi lembar yang dihasilkan telah kususun menjadi sebuah buku bertumpukan dengan Jean-Paul Sartre, James Redfield, Franz Kafka, Michael Foucault, Plato, Socrates, Dorothe Rosa Herliany, dan Seno Gumira Ajidarma. Buku itu pula sama besar artinya dalam detik detik perjalananku karena kau memang telah pergi mengembara bersamaku menyongsong mentari pagi yang hangat diujung cakrawala dan mengambil potret seluruh senja jingga yang bertabur di bulir-bulir pasir yang tersapu air asin laut selatan;
dan katamu waktu itu, ‘Ini akan lebih indah bilia ada sebuah gitar untuk menyanyikan lagu cinta,’ Lalu aku bertanya, Lagu cinta milik siapa yang ingin kau dengarkan? The Beatless? Andy Williams? John Denver? Eric Clapton? Atau….lalu kuderetkan pada sepanjang pantai itu para nama penyanyi yang telah mengharumkan dunia melalui suaranya di Jazz hingga dangdut yang mendayu.
‘Terserah,’ matamu begitu sayu menatap buih yang hampir hilang jingganya.
‘Tapi bukankah kisah kita ada;ah sebuah lagu juga?’ kau masih saja tak menatap wajahku yang penuh harap terbelai gerai rambutmu. ‘Lalu mengapa kau bersusah payah mengaduk ingatanmu demi sebuah jiplakan?petiklah gitar itu dann nyanyikan untukku lagu cinta milik kita.
Aku terdiam. Maka berkumandanglah lagu kebisuan, lagu tanpa nada tanpa lirik, karena memang cintaku padanya hanyalah sebuah kebisuan.


- :: -


Percintaan kami, aku dan dia, adalah pertarungan kata-kata yang menjadi raja pada kegelapan dan berjeda saat matahari menaklukkan. Jual beli kemarahan dan kegembiraan tak pernah terjadi lama, setidaknya selalu kurang dari seperempat waku penamaan manusia, bukankah itu yang diajarkan agama???
Semuanya berlangsung begitu lama, sangat lama hingga kebosanan mencuat. Kegembiraan mendorong kami mendobrak batas fatamorgana memaksaa jarum jam berputar lebih lama. Kegembiraan memberi kekuatan untuk kami melawan terik matahari, menyelimuti tubuh dengan jubah yang jauh lebih tebal ketimbang yang telah ada agar kulit dan daging tak lekas terkelupas dan gosong.


dimana ada 'cinta' ?

Adakah cinta tercecer dimana-mana? Di taman, di dalam kamar, di rumah, di mobil, di pinggir jalan, di alun-alun, di tempat sampah, di pantai, di laut, di atas langit, di emperan toko? Adakah ?

Saturday, January 03, 2004

Surat dari Teman

seorang teman menulis dari dunianya yang masih penuh gemerlap. Aku merindukannya

Perempuan itu memburuku, dia mencariku sampai ke lubang hitam kehidupan. Matanya begitu tajam seperti mata kelelawar dimalam hari dengan keunggulan infra merahnya. Penciumannya seperti harimau kelaparan memburu mangsa. Gerakkannya seperti ular sawah yang menujijikan dan bau. Aku meninggalkannya, dalam akhir tahun yang buta. Aku tak memperdulikannya!

Seorang sahabat setia teronggok dalam tong sampah kapitalisme. Mengerang, menahan bau busuk dan gigitan serangga yang membunuh dengan pelan. Dia, tetap dia! Dan itu pasti! Meskipun telah mengunyam dengan tergesa-gesa pelajaran semantik. "Bahwa aku bukanlah aku".

Aku baca suratnya, lewat e-mail ini, dihari ketiga tahun 2004. Saat rembulan tampak separuh dengan cahaya kekuningan. Membaca suratnya membantuku mengaduk kenyataan yang ada dalam gagasanku. Dia mengatakan padaku, bahwa aku begitu mengingatkannya akan sesuatu hal. "Pengendalian diri!" itu yang di tulisnya. Kata itu membuatku seperti seorang petinju yang mendapat jotosan balasan tepat dirahang yang membuat terjatuh dan berfikir.

Bagaimana aku menggambarkan kerinduannya, akan kasur kumal, buku-buku berserakan, baju kotor yang teronggok disudut ruangan dan segunduk kenangan yang sudah menjadi sampah. Mungkinkah terulang, sedangkan waktu berjalan pelan menuju kematian?

Dia gunakan ajian pamungkas warisan kakek moyang, "Ilmu RagaSukma". Mungkin, yah mungkin ilmu itu yang menyeretku untuk menulis balasan suratnya, merindukan segala sesuatunya dan mungkin karena ilmu itu yang selalu saja membuat telingaku berdenging "....nging".

Setiap telinga berdenging, aku selalu mengaharap ada kebaikan. "Pengendalian diri" itulah kebaikan dari segala kebaikan. Yang tercantum dalam hukum-hukum Tuhan, tersurat dalam kitab-kitab lima agama, mengganggu para filsuf dari jaman ionia sampai sekarang. Menjadi pencarian segala manusia. Dan dia, mengingatkanku akan hal itu.

Berhentilah bertanya pada waktu, karena waktu sebenarnya tidak tahu apa-apa.


"Do, ndi bokepe?"
"Bentar Don, aku kirim e-mail dulu".