Neobux

Thursday, September 30, 2004

Panggilan sayang

     Rasanya seperti mau meledak saja ketika akhirnya aku berada di depan komputer yang tersambung dengan jaringan internet ini. Seperti biasa, ritual dimulai dengan buka beberapa e-mail, cek weblog, masuk ke chatt dan mencari kawan-kawan yang mungkin saja ada. Ternyata memang benar, sore tadi ada beberapa orang lama yang lumayan membuat senang. Ada juga kawan yang beberapa hari ini sempat terpikirkan karena Megawati kalah di pilpres. Katanya waktu itu: Aku akan pergi keluar (dari Indonesia) kalau sampai Mega kalah. Wah...
     E-mail yang ditunggu ternyata belum terkirimkan, mungkin dia terlalu kesal dengan koneksi dial up dari rumahnya di barat sana.
     Atta akan ke Djokdja? Wah, titip salam saja buat bangku-bangku di depan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret ya. Kalau sempat, bawakan sekantung angin yang bertiup di atas jembatan layang Lempuyangan. Aku begitu rindu dengan mereka.

     Sebelumnya sempat bingung juga mau nulis apa untuk weblog. Sampai akhirnya melongok juga ke rumah bunda, dan ternyata dia jadi bibi tutup pintu. Wah... hahaahahhaa
Dan bunda ini menulis:
Tak jarang aku jadi merasa kesal. "Pintunya dong, sayang...! Kok mesti diingetin terus, sih!", kataku sambil cemberut.

Aku sempat tertegun, Obin sudah hampir 3 tahun, dan bunda masih terus memanggil papa nya Obin dengan 'sayang', bukan 'pa' atau 'ayah' atau 'dad' atau 'pak'.
Bukan apa - apa. Hanya saja rasanya aku sudah lama sekali tak mendengar kata 'Yang...' berbisik di telingaku. Dan sekarang, ketika mendengar kata itu lagi, yang kurasakan justru --maaf-- sebal (atau muak!).

     Dunia ternyata telah berubah begitu cepat, aku melewatkan beberapa hal hingga akhirnya pasrah saja terbawa arus. Ada cinta yang akhirnya terbiarkan luntur perlahan. Ada kebangkitan masa lalu yang menggugah dengan memunculkan begitu banyak harapan, kekecewaan, dan kesedihan.

Ternyata memang yang paling nikmat adalah proses, bukan hasil.

Saturday, September 18, 2004

Flamboyan di halaman

Bunga flamboyan di depan rumah itu kutanam sekitar 6 tahun lalu. Waktu itu dalam perjalanan pulang dari camping di tepi jalan ada penjual bunga yang tiba-tiba saja seperti menarik perhatian kami, 4 sekawan yang menyebut diri dengan bangga sebagai Ranger. Mendadak Si Pendek mengusulkan untuk masing-masing membeli bunga dengan jenis dan warna yang berbeda dan menanamnya dihalaman rumah. Bahkan lalu kami bertaruh bunga siapa yang paling awet nantinya.
"Ah.. konyol! kayak cewek aja nanam bunga segala macam!" Bilang Chief (ketua 5 sekawan kami) saat itu.
"Ya nggak laah...menanam bunga itu bukan soal cewek atau cowok!" Si Pendek (karena dia yang paling pendek diantara kami berlima) pemberi usul memotong dengan sengit.
Akhirnya memang kami bersepakat untuk datang ke penjual bunga itu dan setiap orang dari kami memilih satu bunga.
Aku memilih bunga flamboyan. Alasannya? entah. Asal memilih saja, dan memang ketika pertama kali kami memasuki halaman taman bunga milik si penjual itu, pandanganku jatuh menatapnya.

Enam tahun setelah setiap orang dari 4 sekawan menanam bunga di halaman rumah masing-masing, taruhan itu memang sudah terlupakan. Waktu yang lewat telah cukup panjang untuk merubah kehidupan kami. Apa yang ada di pikiran tinggal bagaimana mencukupi biaya hidup masing-masing. Chief sudah disibukkan dengan rengekan si kecil montok yang menggemaskan, Commander (si gentleman di 4 sekawan) pusing berpikir bagaimana bisa menutupi cicilan rumah yang tinggal beberapa kali, Si Pendek jumpalitan mengumpulkan pundi-pundi biar biaya pernikahannya beberapa bulan ke depan tak merepotkan orang tua. Dan aku sibuk menata kembali hidup yang rasanya semakin hari semakin berantakan.
Ingatan tentang taruhan soal bunga memang pernah sekali dua muncul ketika beberapa dari kami berkumpul, menyeduh kopi bersama dengan sebatang rokok terselip diantara jari.

Dari cerita yang terkumpul, ternyata tinggal dua bunga yang masih tumbuh di halaman. Satu milik Commander, dan satunya milikku. Sisanya telah memfosil dengan bermacam alasan. Chief sedari awal memang tak bersemangat menanam bunga, anggreknya dibiarkan melayu begitu saja. Sedang si pendek yang tadinya menggebu-gebu, akhirnya harus merelakan gladiol merahnya diambil orang tanpa seijinnya.

Tinggal dua yang bertahan. Aku dan Commander. Hanya saja, kalau milik temanku satu ini bunganya tumbuh dengan mekar segar, flamboyan milikku justru tak begitu terawat. Aku membiarkannya begitu saja selama ini dan anehnya ia bertahan hidup bertahun-tahun. Apalagi musim kering seperti ini, tanah tempat flamboyan tumbuh sudah seperti sawah yang tak terairi sepanjang musim. Kering dan berdebu. Sebagian akarnya bahkan telah menyeruak muncul ke permukaan. angin sedikit demi sedikit memindahkan setiap kepal tanah.

Beberapa waktu lalu ketika aku tiba di rumah, keadaan flamboyan itu sangat mengenaskan. Batangnya miring hampir menyentuh tanah meski dedaunannya masih hijau dan beberapa bunga masih tersisa. Pemandangan itu sangat mengenaskan. Entah kenapa, aku hanya merasa sayang karena bunga itu sudah kutanam lama, bukan karena memang aku betul suka dengan bunga itu. Dimataku bunga itu hanya satu dari sekian tanaman yang menghiasi halaman rumah.
Aku mengambil tiga potong belahan batang bambu, menancapkannya di sisi flamboyan, menegakkan kembali bunga itu dan mengikat batangnya ke potongan bambu itu dengan seutas tali. Darurat sekali. Aku bisa melakukannya lebih rapi dan lebih permanen, tapi rasanya malas sekali. Biar saja, pikirku.

Tahun-tahun depan, mungkin akhirnya Commander lah yang menang dalam taruhan menanam bunga. Karena boleh jadi mungkin inilah masa flamboyanku untuk meluruh ke bumi. Tapi, siapa yang tahu akan masa depan? Bisa jadi flamboyan di halaman rumah akan terus bertahan sampai tahun-tahun yang tak terhitung lagi. Sampai kami benar-benar lupa sama sekali soal taruhan menanam bunga. Ya siapa tahu...

andai satu dari 4 sekawan membaca cerita ini, mereka akan segera tahu kalau aku tak hanya bercerita soal bunga saja.

Tuesday, September 14, 2004

Si Begu lagi

     Akhirnya kutemukan juga kue ultah yang pas buat Si Begu. Bentuknya bulat biasa dengan lapisan cokelat tebal diatasnya dan pasta ditengah. Jam 12.15 malam aku baru berombongan ke stasiun. Kindy's Donuts lumayan ramai. Si Begu ternyata sedari tadi sudah menunggu di tempat parkir. Lalu prosesi pun dimulai. Kedua mata Si Begu ditutup, dan kue ultah disiapkan di depan meja.
Ketika matanya terbuka dan mendapati ada kue ultah di depannya, dia tertawa, bertepuk tangan dan segera bersiap meniup lilin. Wajahnya sumringah. Temanku bertanya, ini ulang tahunnya yang keberapa, ia mengacungkan satu jari kiri dan empat jari tangan kanannya.

     Malam kembali lewat dengan riang. Si Begu membuat macam-macam bentuk dengan keterampilannya ber-origami memanfaatkan kertas grenjeng rokok. Bahkan dia akhirnya menjadi tukang ramal dengan membaca garis tanganku dan teman-teman lain.
Dikatakannya kalau aku akan .... ah.. sudahlah....

Monday, September 13, 2004

Si Begu

     Aku biasa memanggilnya Begu, artinya bisu atau gagu. Dia cuma seorang anak kecil yang tinggal di stasiun. Dari pagi sampai akan pagi lagi, dia dan sekian banyak teman-temannya terus berkeliaran di stasiun. Kadang-kadang memang ikut numpang kereta sampai ke Jakarta atau ke Djokdja dengan bekal sapu ijuk yang sudah rusak dan tangkai nya dipotong. Dan begitu kereta bergerak meninggalkan stasiun, mereka sudah siap dengan aksinya, membersihkan lantai gerbong dari remah-remah makanan, bungkus plastik, botol air minum... lalu berharap setiap penumpang mau membagikan sekeping dua uang receh.
     Tapi Begu berbeda! Dia bisu...uh...gagu... Pertama kali mengenalnya, tahun 98 lalu saat Ebtanas baru saja lewat dan memberiku kebebasan untuk sekedar pergi tengah malam dan nongkrong di kedai Kindy's Donuts di stasiun. Waktu itu, dia hanya seorang anak kecil lusuh, bau, dengan kulit penuh daki, dan kupikir entah berapa hari sekali dia baru mandi.

     Satu malam, sekian bulan yang lalu, kedai Kindy's Donuts lumayan penuh. Travel bag, tas cangklong, tas plastik bertebaran di lantai stasiun. Kami tak peduli, ada tontonan segar yang benar-benar membuat perut sakit menahan tawa. Si Begu bercerita tentang sesuatu (aku lupa tentang apa...) dengan gayanya yang khas penderita tuna wicara. Dia lebih banyak menggunakan bahasa isyarat, mengingatkanku dengan teman-teman seni peran di Djokdja. Ternyata bukan hanya kami yang dibuat terpingkal-pingkal. Para calon penumpang kereta pun ikut tersenyum. Ada sesuatu yang begitu mengharukan waktu itu.

     Semalam aku ke kedai Kindy's Donuts. Sepi, teman-teman yang biasa nongkrong sudah berpencar dan menjalani kehidupan baru masing-masing. Si Begu duduk di hadapan dua orang perempuan, entah siapa, dan entah mereka sedang menertawai apa. Lalu dia melihatku, melambaikan tangannya dan bergegas mendatangiku. Tangannya terulur melewati pagar dan menyalami tanganku dengan hangat.
"Uh..uh.." Si Begu menunjuk-nunjuk ke arah dia perempuan tadi. Ia mencoba memberi tahu kalau dua perempuan itu cantik dan seksi. Aku cuma tertawa.

Malam itu, aku baru tahu sejarahnya kehidupannya Si Begu. Dengan terbata-bata dan dibantu teman-teman lain, aku mulai mengartikan gerakan tangannya. Ternyata dia bukan anak asli kota ini, ternyata dia punya dua orang kakak, satu laki-laki satu perempuan, ternyata telinga kirinya tak berfungsi sejak lahir dan dia mulai bisu sejak umur 3 tahun. Ternyata ia berulang tahun besok!

Tenang kawan kecilku, aku akan datang besok malam dan kubawakan kau kue ultah

Friday, September 10, 2004

pusing....

Kenapa weblog ku ini bermasalah terus ya?

Tampilan web baru saja kuperbaiki, dan rasanya cukup puas untuk sementara ini, lalu tinggal posisi penempatan posting terakhir sebelum ini yang 'gila'. Aku bahkan sampai memelototi template nya, kucek lagi adakah yang salah. Kubandingkan juga sama template simpananku. Hasilnya? tak ada yang berbeda. Lalu apa yang salah?
Kemarin sempat minta tolong sama wida untuk bikin satu tampilan baru, tapi akhirnya kupakai lagi template buatanku sendiri. Beberapa kali juga sempat tanya ke teman-teman di #blogbugs, tak ada hasil yang memuaskan juga.

Ini blogger.com yang bermasalah atau aku yang terlalu bodoh? Beberapa kali aku utak-utik template, ku-save, republish, lalu ku lihat hasilnya, ternyata tetap seperti tampilan sebelumnya! seolah utak-utik ku tadi itu tak berpengaruh sama sekali. Kulihat lagi di template, ternyata bagian-bagian yang aku utak-utik kembali seperti semula!

Lebih gila lagi waktu aku coba delete satu posting, ku-save, ku-republish, lalu ku lihat hasilnya, ternyata posting tadi masih tertampil!
Waduh! Ini blogger.com nya, atau warnet nya, atau aku nya yang songong??

Monday, September 06, 2004

Kupu-kupu

kupukupukecilterbang

9 juli 04
Ada kupu-kupu, terbang masuk ke dalam rumah.

...... Biasanya kupu-kupu terbang pada siang hari. Mereka harus berjemur di bawah sinar matahari sebelum terbang. Sebagian besar kupu-kupu makan madu yang dihisapnya dari bunga-bunga.....
Sayap kupu-kupu terlihat begitu indah, karena pada sayapnya terdapat sisik-sisik yang berwarna-warni dan berderet rapat. Warna kupu-kupu teramat banyak, bila kita melihat kupu-kupu dengan warnanya yang sama berarti kupu-kupu itu 1 spesies. Jika sisiknya diambil maka sayap kupu-kupu akan menjadi tembus cahaya......


Kata orang, kupu-kupu membawa berita tentang seseorang yang akan datang

sebulan kemudian
Ternyata kupu-kupu itu tak hanya masuk ke dalam rumah. Ia masuk ke dalam diriku, mengetuk-ngetuk pintu dan mengatakan: 'Hei... ada tamu yang datang!'