Neobux

Wednesday, December 22, 2004

Kembang Api

Biasanya kembang api hanya kulihat di keramaian perayaan tahun baru. Tapi kali ini tidak.
Malam itu sungguh sepi, sunyi, senyap, lengang tanpa ricuh apapun.
"Akan kutunjukkan sesuatu" kata temanku.
"Apa?" aku tak peduli. Lebih peduli dengan pekat malam dan indahnya dunia tanpa keributan.
Dan ia menunjukkanku sebatang kembang api.
"Punya siapa? Untuk apa?"
"Entah punya siapa, aku tak tahu. Tapi ia tergeletak di tempatku sudah lama."
"Nggak mungkin itu bukan punya siapa-siapa."
"Mungkin dulu nya punya seseorang, tapi sekarang entahlah. Aku sudah bilang kan..? Ini tergeletak di tempatku sudah lama!"
"Lalu untuk apa kau tunjukkan padaku?"
Dinyalakannya korek api, dibakarnya kembang api sebatang itu. Nyaris tanpa suara, hanya desis panjang saat kembang api itu meluncur ke udara. Menembus pekat malam yang sepi, sunyi, senyap. Lengang.
Aku hanya menatapnya. Menyaksikan warna warna yang muncul saat kembang api itu akhirnya meledak, membuncahkan setiap bagian kecilnya dalam warna warna yang, sungguh baru kali ini aku melihat warna warna begitu indah.
Mataku terpana memandang ke angkasa hitam. Mulutku kukunci rapat-rapat. Sungkan rasanya kalau temanku menyadari bahwa aku pada akhirnya mengagumi kembang api itu.
Aku menyaksikannya hingga letupan terakhir. Mulutku masih terkunci rapat. Tapi di dalam hatiku, telah ada peperangan.
"Wow.. sungguh indah"
"Ya. Sungguh indah"
"Aku jatuh cinta.."
"Hah..??"
"Ya aku jatuh cinta."
"Jatuh cinta dengan siapa?"
"Bukan dengan siapa, tapi dengan apa."
"Ya, apa?"
"Kembang api itu."
"Wah.. kenapa bisa jatuh cinta...??"
"Warna warna nya, sungguh indah."
"Lho... kau jatuh cinta dengan warna warnanya atau dengan kembang api nya?"
"Ah.. warna warna itu muncul dari kembang api. Maka aku jatuh cinta sekalian dengan kembang api nya."
"Tapi untuk apa jatuh cinta dengan kembang api? Toh kau paham benar cara kerja kembang api kan? Ada untuk sekali saja. Terbang, meledak, memunculkan warna warna indah, lalu hilang tak berbekas."
"Lalu kenapa kalau aku tak jatuh cinta? Itu hak."
"Hak. Tapi kau tak realistis."
"Biarin... Cinta tak pernah berubah menjadi realis. Selalu saja abstrak."
"Ah..."
"Aku mencintai karena aku menyukai. Bukan karena ingin memiliki."
"Ah..."
"Ya kan??? Bener kan??? Manusia tak pernah memiliki apapun kecuali dirinya sendiri."
"Ah..."
"Kok cuma ah ah..."
....................

Tentu saja perdebatan tak berhenti seperti yang kutulis tadi. Perdebatan masih terus
berlangsung, hingga saat ini.
Aku jadi ingat kata kata temanku yang lain, Cinta dan Milik adalah dua hal yang sangat berbeda. Mencintai dan Memiliki tentu saja berbeda pula.

Ah....

Sunday, November 14, 2004

Lebaran


Ini malam lebaran.
Dari delapan penjuru mata angin tersiar kabar tentang kedamaian. Tentang niatan untuk saling memaafkan satu sama lain. Kabar berkumpulnya keluarga kerabat dan teman-teman yang telah berpencar mencari mutiara-mutiara penghias hidup di setiap pelosok.

Ini malam aku masih saja memutar layar ingatan tentang setahun lalu, dua tahun lalu, bertahun-tahun lalu. Dimanakah setiap malam lebaran yang kualami? Inilah penghitungan mundur: Puncak gunung Lawu. Termangu dengan mata kuyu menatap rangkaian mukena putih bersih yang berjajar di alun-alun. Terdiam dalam kekagetan saat menyadari betapa matahari telah naik lebih dari sepenggalah, dan corong Masjid tak lagi mengumandangkan nama agung NYA.
kelebat...
Bergetar saat turut dalam arus alunan takbir tak lagi menjadi bagian dari setiap detik yang terjalani. Lebaran tak lagi mengetuk pintu rumahku.

dan waktu terus saja bergerak. Tanpa pernah ada yang tahu kemana arahnya.

Aku, disini, diam.

Mengunyah cokelat yang tiba-tiba saja ada di hadapan. Dan berharap memang benar itu cokelat memang bagianku saat ini. Cokelat yang terproduksi di Andalas sana berpuluh-puluh tahun lalu.

Thursday, September 30, 2004

Panggilan sayang

     Rasanya seperti mau meledak saja ketika akhirnya aku berada di depan komputer yang tersambung dengan jaringan internet ini. Seperti biasa, ritual dimulai dengan buka beberapa e-mail, cek weblog, masuk ke chatt dan mencari kawan-kawan yang mungkin saja ada. Ternyata memang benar, sore tadi ada beberapa orang lama yang lumayan membuat senang. Ada juga kawan yang beberapa hari ini sempat terpikirkan karena Megawati kalah di pilpres. Katanya waktu itu: Aku akan pergi keluar (dari Indonesia) kalau sampai Mega kalah. Wah...
     E-mail yang ditunggu ternyata belum terkirimkan, mungkin dia terlalu kesal dengan koneksi dial up dari rumahnya di barat sana.
     Atta akan ke Djokdja? Wah, titip salam saja buat bangku-bangku di depan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret ya. Kalau sempat, bawakan sekantung angin yang bertiup di atas jembatan layang Lempuyangan. Aku begitu rindu dengan mereka.

     Sebelumnya sempat bingung juga mau nulis apa untuk weblog. Sampai akhirnya melongok juga ke rumah bunda, dan ternyata dia jadi bibi tutup pintu. Wah... hahaahahhaa
Dan bunda ini menulis:
Tak jarang aku jadi merasa kesal. "Pintunya dong, sayang...! Kok mesti diingetin terus, sih!", kataku sambil cemberut.

Aku sempat tertegun, Obin sudah hampir 3 tahun, dan bunda masih terus memanggil papa nya Obin dengan 'sayang', bukan 'pa' atau 'ayah' atau 'dad' atau 'pak'.
Bukan apa - apa. Hanya saja rasanya aku sudah lama sekali tak mendengar kata 'Yang...' berbisik di telingaku. Dan sekarang, ketika mendengar kata itu lagi, yang kurasakan justru --maaf-- sebal (atau muak!).

     Dunia ternyata telah berubah begitu cepat, aku melewatkan beberapa hal hingga akhirnya pasrah saja terbawa arus. Ada cinta yang akhirnya terbiarkan luntur perlahan. Ada kebangkitan masa lalu yang menggugah dengan memunculkan begitu banyak harapan, kekecewaan, dan kesedihan.

Ternyata memang yang paling nikmat adalah proses, bukan hasil.

Saturday, September 18, 2004

Flamboyan di halaman

Bunga flamboyan di depan rumah itu kutanam sekitar 6 tahun lalu. Waktu itu dalam perjalanan pulang dari camping di tepi jalan ada penjual bunga yang tiba-tiba saja seperti menarik perhatian kami, 4 sekawan yang menyebut diri dengan bangga sebagai Ranger. Mendadak Si Pendek mengusulkan untuk masing-masing membeli bunga dengan jenis dan warna yang berbeda dan menanamnya dihalaman rumah. Bahkan lalu kami bertaruh bunga siapa yang paling awet nantinya.
"Ah.. konyol! kayak cewek aja nanam bunga segala macam!" Bilang Chief (ketua 5 sekawan kami) saat itu.
"Ya nggak laah...menanam bunga itu bukan soal cewek atau cowok!" Si Pendek (karena dia yang paling pendek diantara kami berlima) pemberi usul memotong dengan sengit.
Akhirnya memang kami bersepakat untuk datang ke penjual bunga itu dan setiap orang dari kami memilih satu bunga.
Aku memilih bunga flamboyan. Alasannya? entah. Asal memilih saja, dan memang ketika pertama kali kami memasuki halaman taman bunga milik si penjual itu, pandanganku jatuh menatapnya.

Enam tahun setelah setiap orang dari 4 sekawan menanam bunga di halaman rumah masing-masing, taruhan itu memang sudah terlupakan. Waktu yang lewat telah cukup panjang untuk merubah kehidupan kami. Apa yang ada di pikiran tinggal bagaimana mencukupi biaya hidup masing-masing. Chief sudah disibukkan dengan rengekan si kecil montok yang menggemaskan, Commander (si gentleman di 4 sekawan) pusing berpikir bagaimana bisa menutupi cicilan rumah yang tinggal beberapa kali, Si Pendek jumpalitan mengumpulkan pundi-pundi biar biaya pernikahannya beberapa bulan ke depan tak merepotkan orang tua. Dan aku sibuk menata kembali hidup yang rasanya semakin hari semakin berantakan.
Ingatan tentang taruhan soal bunga memang pernah sekali dua muncul ketika beberapa dari kami berkumpul, menyeduh kopi bersama dengan sebatang rokok terselip diantara jari.

Dari cerita yang terkumpul, ternyata tinggal dua bunga yang masih tumbuh di halaman. Satu milik Commander, dan satunya milikku. Sisanya telah memfosil dengan bermacam alasan. Chief sedari awal memang tak bersemangat menanam bunga, anggreknya dibiarkan melayu begitu saja. Sedang si pendek yang tadinya menggebu-gebu, akhirnya harus merelakan gladiol merahnya diambil orang tanpa seijinnya.

Tinggal dua yang bertahan. Aku dan Commander. Hanya saja, kalau milik temanku satu ini bunganya tumbuh dengan mekar segar, flamboyan milikku justru tak begitu terawat. Aku membiarkannya begitu saja selama ini dan anehnya ia bertahan hidup bertahun-tahun. Apalagi musim kering seperti ini, tanah tempat flamboyan tumbuh sudah seperti sawah yang tak terairi sepanjang musim. Kering dan berdebu. Sebagian akarnya bahkan telah menyeruak muncul ke permukaan. angin sedikit demi sedikit memindahkan setiap kepal tanah.

Beberapa waktu lalu ketika aku tiba di rumah, keadaan flamboyan itu sangat mengenaskan. Batangnya miring hampir menyentuh tanah meski dedaunannya masih hijau dan beberapa bunga masih tersisa. Pemandangan itu sangat mengenaskan. Entah kenapa, aku hanya merasa sayang karena bunga itu sudah kutanam lama, bukan karena memang aku betul suka dengan bunga itu. Dimataku bunga itu hanya satu dari sekian tanaman yang menghiasi halaman rumah.
Aku mengambil tiga potong belahan batang bambu, menancapkannya di sisi flamboyan, menegakkan kembali bunga itu dan mengikat batangnya ke potongan bambu itu dengan seutas tali. Darurat sekali. Aku bisa melakukannya lebih rapi dan lebih permanen, tapi rasanya malas sekali. Biar saja, pikirku.

Tahun-tahun depan, mungkin akhirnya Commander lah yang menang dalam taruhan menanam bunga. Karena boleh jadi mungkin inilah masa flamboyanku untuk meluruh ke bumi. Tapi, siapa yang tahu akan masa depan? Bisa jadi flamboyan di halaman rumah akan terus bertahan sampai tahun-tahun yang tak terhitung lagi. Sampai kami benar-benar lupa sama sekali soal taruhan menanam bunga. Ya siapa tahu...

andai satu dari 4 sekawan membaca cerita ini, mereka akan segera tahu kalau aku tak hanya bercerita soal bunga saja.

Tuesday, September 14, 2004

Si Begu lagi

     Akhirnya kutemukan juga kue ultah yang pas buat Si Begu. Bentuknya bulat biasa dengan lapisan cokelat tebal diatasnya dan pasta ditengah. Jam 12.15 malam aku baru berombongan ke stasiun. Kindy's Donuts lumayan ramai. Si Begu ternyata sedari tadi sudah menunggu di tempat parkir. Lalu prosesi pun dimulai. Kedua mata Si Begu ditutup, dan kue ultah disiapkan di depan meja.
Ketika matanya terbuka dan mendapati ada kue ultah di depannya, dia tertawa, bertepuk tangan dan segera bersiap meniup lilin. Wajahnya sumringah. Temanku bertanya, ini ulang tahunnya yang keberapa, ia mengacungkan satu jari kiri dan empat jari tangan kanannya.

     Malam kembali lewat dengan riang. Si Begu membuat macam-macam bentuk dengan keterampilannya ber-origami memanfaatkan kertas grenjeng rokok. Bahkan dia akhirnya menjadi tukang ramal dengan membaca garis tanganku dan teman-teman lain.
Dikatakannya kalau aku akan .... ah.. sudahlah....

Monday, September 13, 2004

Si Begu

     Aku biasa memanggilnya Begu, artinya bisu atau gagu. Dia cuma seorang anak kecil yang tinggal di stasiun. Dari pagi sampai akan pagi lagi, dia dan sekian banyak teman-temannya terus berkeliaran di stasiun. Kadang-kadang memang ikut numpang kereta sampai ke Jakarta atau ke Djokdja dengan bekal sapu ijuk yang sudah rusak dan tangkai nya dipotong. Dan begitu kereta bergerak meninggalkan stasiun, mereka sudah siap dengan aksinya, membersihkan lantai gerbong dari remah-remah makanan, bungkus plastik, botol air minum... lalu berharap setiap penumpang mau membagikan sekeping dua uang receh.
     Tapi Begu berbeda! Dia bisu...uh...gagu... Pertama kali mengenalnya, tahun 98 lalu saat Ebtanas baru saja lewat dan memberiku kebebasan untuk sekedar pergi tengah malam dan nongkrong di kedai Kindy's Donuts di stasiun. Waktu itu, dia hanya seorang anak kecil lusuh, bau, dengan kulit penuh daki, dan kupikir entah berapa hari sekali dia baru mandi.

     Satu malam, sekian bulan yang lalu, kedai Kindy's Donuts lumayan penuh. Travel bag, tas cangklong, tas plastik bertebaran di lantai stasiun. Kami tak peduli, ada tontonan segar yang benar-benar membuat perut sakit menahan tawa. Si Begu bercerita tentang sesuatu (aku lupa tentang apa...) dengan gayanya yang khas penderita tuna wicara. Dia lebih banyak menggunakan bahasa isyarat, mengingatkanku dengan teman-teman seni peran di Djokdja. Ternyata bukan hanya kami yang dibuat terpingkal-pingkal. Para calon penumpang kereta pun ikut tersenyum. Ada sesuatu yang begitu mengharukan waktu itu.

     Semalam aku ke kedai Kindy's Donuts. Sepi, teman-teman yang biasa nongkrong sudah berpencar dan menjalani kehidupan baru masing-masing. Si Begu duduk di hadapan dua orang perempuan, entah siapa, dan entah mereka sedang menertawai apa. Lalu dia melihatku, melambaikan tangannya dan bergegas mendatangiku. Tangannya terulur melewati pagar dan menyalami tanganku dengan hangat.
"Uh..uh.." Si Begu menunjuk-nunjuk ke arah dia perempuan tadi. Ia mencoba memberi tahu kalau dua perempuan itu cantik dan seksi. Aku cuma tertawa.

Malam itu, aku baru tahu sejarahnya kehidupannya Si Begu. Dengan terbata-bata dan dibantu teman-teman lain, aku mulai mengartikan gerakan tangannya. Ternyata dia bukan anak asli kota ini, ternyata dia punya dua orang kakak, satu laki-laki satu perempuan, ternyata telinga kirinya tak berfungsi sejak lahir dan dia mulai bisu sejak umur 3 tahun. Ternyata ia berulang tahun besok!

Tenang kawan kecilku, aku akan datang besok malam dan kubawakan kau kue ultah

Friday, September 10, 2004

pusing....

Kenapa weblog ku ini bermasalah terus ya?

Tampilan web baru saja kuperbaiki, dan rasanya cukup puas untuk sementara ini, lalu tinggal posisi penempatan posting terakhir sebelum ini yang 'gila'. Aku bahkan sampai memelototi template nya, kucek lagi adakah yang salah. Kubandingkan juga sama template simpananku. Hasilnya? tak ada yang berbeda. Lalu apa yang salah?
Kemarin sempat minta tolong sama wida untuk bikin satu tampilan baru, tapi akhirnya kupakai lagi template buatanku sendiri. Beberapa kali juga sempat tanya ke teman-teman di #blogbugs, tak ada hasil yang memuaskan juga.

Ini blogger.com yang bermasalah atau aku yang terlalu bodoh? Beberapa kali aku utak-utik template, ku-save, republish, lalu ku lihat hasilnya, ternyata tetap seperti tampilan sebelumnya! seolah utak-utik ku tadi itu tak berpengaruh sama sekali. Kulihat lagi di template, ternyata bagian-bagian yang aku utak-utik kembali seperti semula!

Lebih gila lagi waktu aku coba delete satu posting, ku-save, ku-republish, lalu ku lihat hasilnya, ternyata posting tadi masih tertampil!
Waduh! Ini blogger.com nya, atau warnet nya, atau aku nya yang songong??

Monday, September 06, 2004

Kupu-kupu

kupukupukecilterbang

9 juli 04
Ada kupu-kupu, terbang masuk ke dalam rumah.

...... Biasanya kupu-kupu terbang pada siang hari. Mereka harus berjemur di bawah sinar matahari sebelum terbang. Sebagian besar kupu-kupu makan madu yang dihisapnya dari bunga-bunga.....
Sayap kupu-kupu terlihat begitu indah, karena pada sayapnya terdapat sisik-sisik yang berwarna-warni dan berderet rapat. Warna kupu-kupu teramat banyak, bila kita melihat kupu-kupu dengan warnanya yang sama berarti kupu-kupu itu 1 spesies. Jika sisiknya diambil maka sayap kupu-kupu akan menjadi tembus cahaya......


Kata orang, kupu-kupu membawa berita tentang seseorang yang akan datang

sebulan kemudian
Ternyata kupu-kupu itu tak hanya masuk ke dalam rumah. Ia masuk ke dalam diriku, mengetuk-ngetuk pintu dan mengatakan: 'Hei... ada tamu yang datang!'

Tuesday, August 31, 2004

Memilih warna

Sekali lagi aku membongkar-pasang tampilan weblog ini. Niatan awal adalah mengganti tampilan weblog sekalian dengan URL baru, tapi rasanya terlalu sayang menghapuskan nama rawins yang kupakai untuk alamat dua email di dua penyedia layanan gratis yang berbeda.

Dengan tergagap aku mengambil template yang disediakan blogger.com dan mencoba mengutak-atik secara offline sejak sabtu lalu. Yang paling menyebalkan setiap kali mengganti tampilan weblog adalah: aku selalu kesulitan memilih warna! Satu waktu ventri pernah mengejekku soal ini. Aku pernah memasang warna hijau, lalu kuganti dengan biru langit, lalu akhirnya memilih putih. Netral dan tidak neko-neko. Dulu pernah juga beberapa kali aku mencoba menjawab pertanyaan psikotes di majalah remaja, persoalan yang selalu muncul adalah kebingungan menjawab pertanyaan: Apa warna favoritmu?

Kemarin sempat pula mendownload pilihan warna dari sini dan menanyakannya ke beberapa teman warna mana yang kira-kira cocok untuk tampilan weblog. Tapi pada akhirnya tetap saja aku kebingungan. Mereka memilih warna-warna yang bagus, tapi aku tidak melihatnya sebagai warna yang pantas ditampilkan.
Sebenarnya yang jadi masalah itu apa? aku sendiri tak tahu. Kupikir mataku masih cukup sehat, aku tak memakai kacamata, dan aku tidak buta warna. Apakah aku terlalu memilih, atau terlalu bersemangat menjadikan weblog ini tampil beda?

Lewat sms aku minta seorang teman lama untuk memilihkan warna. Setelah menunggu berjam-jam akhirnya sms balasan datang, tapi bukan berisi saran warna apa yang ditunjuk malah dia mengomentari apa yang sudah kutulis di weblog. Ndak pa pa... mungkin dia butuh waktu juga untuk mencari warna yang tepat.

Wednesday, August 18, 2004

Merdeka ?

Apa itu Merdeka?
apa memang benar, Indonesia sudah merdeka?

Apakah anda sudah menjadi manusia yang merdeka?

Freedom for choice, choice for freedom

Monday, August 09, 2004

Murid Sejati, Sejatine Murid

Dhasaring wong ngudi kawruh pawitane ngandel dhisik, marang para leluhurira ingkang bisa apeparing pepadhang, dununge marga benere lakuning urip.
Wis jamake wong sinau ngudi undhake pangerti, ya kudu wani kangelan terkadang kelangan duwit, kalamun emoh rekasa nora perlu mlebu murid.


Saturday, July 31, 2004

Perpisahan

Sebuah perpisahan tidak harus selalu dihubungkan dengan suka atau tidak suka.
Pertemuan, perpisahan,astaga, betapa semua ini menjadi bagian kehidupan. Kupikir aku selalu siap perbisah dengan siapapun wanita yang kutemui. Namun ketika saat perpisahan itu tiba, rasanya aku tidak pernah siap.
"Kita harus berpisah, kita tidak punya masa depan," begitulah kalimat itu selalu
"Apakah suatu hubungan tidak ada artinya, meski tidak akan menjadi apa-apa?"
"Kamu sangat berarti bagiku, tapi untuk apa semua ini, untuk apa?"
Aku sudah capek dengan perdebatan semacam itu. Aku ingin babak-babak kehidupan semacam itu berlalu dengan cepat. Kenyataannya, babak-babak semacam itu selalu datang lagi, nyaris seperti adegan ulangan. Toh, begitulah, perpisahan tidak pernah menjadi mudah.
............................................
Hubungan manusia seperti kontrak. Cepat atau lambat hubungan itu akan berakhir dengan perpisahan.

Saturday, July 24, 2004

Senja jingga



Senja sudah lewat, bukankah telah kukatakan padamu?
Senja lari ke barat dan tak pernah berhenti.
"dapatkah kau menunjukkan dimana barat, jika bumi memang serupa bulat?"
Senja tak pernah datang sejak 453 hari yang lalu. Sejak saat itu, yang menyemburat di langit akhir hari hanyalah gema dari kenangan akan senja.
Tapi senja sendiri tak pernah muncul.

P.s: Ada kabar burung mengatakan bahwa senja tak muncul karena sebenarnya senja telah dikerat oleh seukuran kartu pos dengan menggunakan pisau lipat oleh seseorang lalu dikirimkan melalui pos untuk seorang wanita keras kepala di ujung dunia.
Entah benar atau tidak, bisa jadi senja cuma sedang bosan membuat orang jatuh cinta dan sok romantis



     Apakah benar senja adalah pengakhiran hari?
Kurasa tidak. Bagiku senja adalah penggambaran matahari akan siang yang terlewat. Seindah apapun senja, ia takkan pernah menorehkan garis jingga yang sama dari satu masa yang terlewat. Sekelam apapun mega cakrawala barat, takkan pernah ia menjatuhkan air hujan yang sama.

     Perjalanan hidup, segetir apapun adalah jiwa yang terlahir sempurna. Roh kita lah yang terus setia mengembara. Mengorek setiap busuk daging yang tersimpan terlalu lama dalam gudang ingatan.
Bumi memang serupa bulat, maka itu kau akan senantiasa menyaksikan senja terpancar dari ufuk barat. Percuma pula kau menghitungnya dan mengendapkan setiap kepingan dari langit yang terbakar itu dalam otakmu. Keping bara yang terkumpul hanya akan menyisakan abu di setiap labirin sel otakmu. Biarkan saja senja melewat. Biarkan ia bercahanya indah, dan lebih indah saat alur sungai mengembalikannya padamu. Biarkan ia bersinar keemasan dan mengecap di setiap balur kaca gedung bertingkat angkuh kokoh tak bersahabat yang berjajar di jalan kota.

     Bilakah senja adalah pengakhiran hari, jika jarum jam telah lelah berputar di sumbunya, dan lagu-lagu mengalun menghanyutkan nafasmu yang tersengal menungu kabar. Dan aku masih saja terjaga untuk sesuatu yang mungkin pula tak kudapat.
Meski akulah raja kegelapan, pemakan derik jengkerik penghisap kelepar sayap kelelawar, tetap tak kupunya kekuatan untuk membawa matahari terbit dari barat. Boleh jadi mataku setajam pisau, namun apalah daya bila air yag kubelah?

     Semuanya telah berjalan, sebaik senja menghadirkan setiap kerat langit berjingga. Adakah yang dapat kita lakukan selain duduk mencangklong di teras rumah, memandang kerisik dedaunan dengan asap tembakau berhembusan dari tarikan nafas yang kian memberat....

Wednesday, July 14, 2004

11 tahun....

11 tahun lebih kami tidak saling bertemu.
Yang pertama aku ingat dari dia adalah, semua teman-teman SD waktu itu saling berburu untuk mengenal dia lebih dekat. Juga semua teman-teman tetangga. Semuanya mencoba menarik perhatian dia karena dia anak baru, dan karena dia cantik.
Masa yang kubanggakan adalah ketika aku menahan grogi setengah mati untuk membacakan puisi di depan teman-temanku di kelas 6 dan bersama dengan kelas 5, kelas dia. Akhirnya memang sukses, dan mataku tak pernah lepas dari wajahnya.
Yang kuingat adalah, ketika dengan begitu sedih, aku harus pindah SMP, sementara dia masih bertahan di SD. Aku harus pindah, jauh...

Semua keping ingatan masa kecil yang kadangkala begitu konyol saat diingat, kembali muncul. ketika...
"tak ada yang tak mungkin kalau kau niat..." kata temanku.
Apa iya? Apa aku begitu berniat? Tapi memang, berulang kali mencoba mencari informasi tentang dia pada akhirnya tak sia-sia.

Aku menemukannya, diantara kehangatan keluarga dengan dua keponakan lucu yang kembar. Aku menemukannya, terjebak di kemunafikan dan kesepian tanpa teman sebaya.
Lalu setelahnya, sms terus saja bersusulan.

Sementara ini, cukuplah saja kalimat-kalimat pendek itu yang menghadirkan dia.


Aku menemukan diriku, terjepit antara kerinduan masa lalu, angan masa depan, dan realita masa kini.


Aku menemukan diriku, ......merindukannya.

Tuesday, July 06, 2004

Friend Is A Four Letter Word

To me coming from you
Friend is a four letter word


Pernah satu kali aku tanyakan ke dosenku yang lulusan UK, apa maksudnya CAKE mengatakan kalimat itu di album Fashion Nugget yang dirilis tahun 1996 itu. Secara gramatikal yang kupelajari di kelas, kalimat itu tentu saja membingungkan. Four letter word harusnya menjadi Four letter words karena four adalah lebih dari satu alias jamak. Tapi kenapa tidak ada tambahan 's' nya? Dugaanku seketika adalah karena ini istilah atau ungkapan. Tapi apa?

Jawaban dosenku itu sangat sederhana.
"oh.. itu need."
"maksudnya apa pak?"
"ya need."
"need?"
"iya."

Butuh beberapa waktu untuk memikirkannya sebelum akhirnya aku tersenyum riang, N E E D. Itu empat huruf kan?

Maka jadilah.
Meski tidak sesederhana itu pemahaman kita masing masing tentang apa yang dimaksud dengan 'friend', namun CAKE sudah menyanyikannya dengan indah. Menjadi teman adalah selalu berada disisi mereka ketika sedih dan susah.

Dan disinilah aku sekarang, terpuruk lemas di kota sendiri, menjadi nomaden dan memang tak pernah aku merasakan betapa hangat sebuah rumah, a home. Mereka, teman-temanku lah yang selalu bersedia menghangatkan dinginnya sebuah keterasingan, selalu mengajakku bercanda tanpa pernah membuatku mendendam. Mereka lah yang selalu mengingatkanku bahwa aku tetap berharga untuk terus hidup.

Friday, July 02, 2004

Musim Berubah

Inilah saatnya musim berubah. Biru cerah warna langit dan awan gemawan yang beriringan lambat laun akan terganti dengan kelabu mendung pembawa derai hujan.

Ini sudah masuk ke Mangsa Ketiga. Musim yang terjadi diantara musim kering dan musim hujan. Pergantian cuaca begitu drastis. Tubuh yang rentan akan mudah sekali termasuki virus penyakit.

Upie juga lagi kena sakit. Kata dokter saat hari minggu petang lalu aku bawa dia ke klinik, itu adalah gejala usus buntu. Lalu hari selasa malam, sama ibunya Upie dibawa ke dokter spesialis penyakit dalam. Dan diagnosanya, gejala lever.
Tentu saja aku dan keluarganya cenderung lebih mempercayai si dokter spesialis itu karena dia memang sudah spesialis, karena obatnya lebih mahal 4 x lipat dari harga obat di klinik, karena obatnya memang lebih manjur. Karena kami harus mempercayai dia, sehingga dengan begitulah obat si dokter menjadi lebih mujarab.

Setiap mendengar kata 'penyakit lever', aku selalu ingat bapak. Aku selalu ingat raut muka kesakitan pada malam itu, malam dimana tak seorangpun yang ada di dalam kamar bapak mengetahui kalau ternyata bapak sudah setengah sadar, kalau ternyata bapak sudah koma.
Dan ia harus merasakan sakit itu semalaman, sebelum akhirnya pada esok harinya bapak baru di bawa ke rumah sakit dengan mobil pak camat.
Dan ia harus menyerah pada levernya yang sudah pecah setelah berjuang selama dua hari di rumah sakit.
Dan ia harus meninggalkan hanya sedikit kenangan untukku sebelum aku benar-benar mengerti betapa besarnya rasa kehilangan seorang bapak.

Aku selalu sedih mendengar kata 'lever'.
(percayakah kau, setiap saat aku bercerita ini, hujan turun rintik-rintik diantara bulu mataku.)

Thursday, June 10, 2004

Logika vs Perasaan

Perempuan bilang, lelaki terlalu mementingkan logika, realistis, sistematis, materialis!
Lelaki bilang, perempuan cuma bisa nangis tanpa sebab, terlalu banyak menuruti perasaan, maunya selalu diperhatikan.
Perempuan bilang, lelaki itu ceroboh, urakan, suka berantakan, nggak memperhatikan penampilan, jorok, kotor.
Lelaki bilang, perempuan itu segala macamnya ribet, terlalu banyak aturan, suka memperbesar masalah. Mau pergi makan aja dandannya sejam!

Wednesday, June 09, 2004

The Boring Djokdja

Selasa Pagi,
'Ciwan.. wake up! ayo berangkat,'
heuh....ternyata sudah jam 5.40 pagi. Itu berarti aku cuma punya waktu 20 menit lagi untuk bersiap. Dan..brr...dinginnya air disini takkan kutemui di Jakarta sana. Jam 6 lebih, aku sudah tersaruk-saruk menjinjing travell bag besar tanpa minum teh hangat seperti pagi biasanya.
Bis penuh dengan anak sekolah. Obrolanku dengan kakak hanya sepatah dua saja. Rasanya jadi malas bicara kalau bis penuh seperti ini. Hingga sampai agen bis ke Djokdja, aku turun, membiarkan kakakku kerepotan dengan travel bag dan kakinya yang masih luka karena kecelakaan kemarin.
Ternyata butuh waktu sekitar 20 menit untuk menunggu bis datang. Aku cuma terbengong-bengong saja sambil menghabiskan rokok terakhir. Ketika bis akhirnya datang, aku sudah cukup punya alasan untuk segera tidur lagi selama perjalanan.
Dengan Walkman di kuping dan kepala yang terus terpejam, Djokdja rasanya begitu dekat.

Selasa Siang,
Yang pertama terlihat adalah Agung dengan rambut barunya. Lalu Indra, lalu Rio, lalu beberapa anak kos baru yang aku sama sekali tak tahu.
Sekian menit kemudian, selembar kartu voucher pulsa IM3 dan sebungkus nasi padang siap dihadapan.
'Lah piye iki, kok ra iso sms?' teriakku.
di layar ponsel cuma tertera "Message failed. Saved in unsent"
Lalu setelah berkali-kali dicoba, muncul tulisan "SMS Barred. Saved in unsent" Kok bisa? Kenapa? Segera aku telepon ke CCO nya IM3, dan mencobanya berkali-kali sampai akhirnya tersambung.
'Mas tunggu aja, nanti coba lagi setelah dua jam ya.'
Waks !!.. 2 jam?? Ini jam 2 siang, berarti nanti jadi jam 4. OK deh. Sekitar jam 4.30 aku coba kirim sms lagi, ternyata belum jadi juga. Kenapa ya?

Gadis manis itu lewat di depan Gajah60. Kacamatanya selalu menarik perhatian. Aku mencegatnya ketika dia lewat lagi.
'Kok disini? Datang kapan?'
Dia memberi nomor ponselnya sambil menjawab berondongan pertanyaanku. Dia memberiku senyum.

Selasa Sore,
Sebuah kopi dengan krim tersuguh di meja. Getar rel terlindas kereta terasa dikakiku. Twins Donut Stasiun Djokdja berganti penampilan. Bungkus Sachet gula nya juga beda. Berapa lama aku tak kemari? Entahlah.
Kereta PRAMEKS terakhir dari Solo datang juga. Hanya sedikit yang turun di stasiun Djokdja, dan dimana dia? Hingga PRAMEKS pulang ke Solo, teman dari #gejolak itu ternyata tak ada. Dia salah turun atau mencoba menjadi penipu?
Ponselku masih juga belum bisa mengirim SMS. Kutelepon lagi CCO.
'Mbak... kenapa belum bisa juga??'
'Mohon tunggu sebentar ya pak. Terima kasih sudah menunggu bapak, ini akan kami coba reset dari sini, bapak bisa mencobanya dua jam kedepan.'
HAH! 2 jam lagi? ck ck ck

Selasa Malam,
Teman dari #gejolak itu ternyata sama sekali tidak menghubungi nomor ponselku. Bayangan ke Hugo's akhirnya lenyap. Ya sudah.
Akhirnya aku bisa kirim SMS lagi di jam 9 kurang sedikit. Sialan. Dan Gadis berkacamata itulah yang pertama kali kukirimi SMS.
'Wo..nongkrong jalan solo, cari makan. Aku lapar'
Dan sekarang, terkaparlah aku di warnet, membenahi weblog dengan bantuan pak Astho 'ass4ssin'. Thanks Pak.

Djokdja rasanya sudah begitu berbeda. ffffffhhhh............

Monday, June 07, 2004

Kabar Kabur Kanginan

Biasanya kalau ada pertanyaan: Apa kabarnya?
jawaban yang keluar pertama kali pada umumnya adalah: Kabar baik.
Lalu setelahnya, bisa jadi muncul keluhan, kegalauan hati dikeluarkan. Bisa jadi juga hanya diam saja, mengendapkannya dengan alasan satu dan lain hal.

Begitulah, dengan wajah sumringah beberapa teman yang sudah lama tak bertemu menyapa dengan riang dan menanyakan: Apa kabar? Sekarang dimana?
Nah... pertanyaan "Sekarang dimana?" itu bukankah sangat rancu? Karena tentu saja si penanya dan obyek yang ditanyai tahu persis sekarang ada dimana mereka berada. Namun keduanya pun mafhum kalau pertanyaan "Sekarang dimana?" bermakna 'tinggal dimana sekarang?' dan atau 'bekerja dimana?'. Lalu pertanyaan singkat itu terjawab dengan jawaban singkat pula tapi bisa memancing begitu banyak pertanyaan lanjutan.
Aku sendiri biasanya menjawabnya dengan nada gurau. Mengingatkannya atas pertanyaan bodoh itu, dan menghindar untuk mengeluarkan jawaban yang sesungguhnya diinginkan. What for? Lagipula pertanyaan itu biasanya hanyalah basa-basi saja.

Teman yang kabarnya baru diangkat jadi PemRed di Tabloid -yang aku beli gara-gara penasaran tulisan dia itu- tempatnya bekerja itu bertanya: Kenapa resign?
Aku jawab: Bekerja tanpa senyum bukankah sangat menyedihkan?
==>edited: Ternyata kabar burung saja kenaikan jabatannya ya atta, tapi semoga besok2 kesampean deh<==
Maka aku berdoa kepada Pencipta yang agung, Semoga aku dapat tersenyum dengan sungguh-sungguh dipekerjaan baru ini. Semoga aku bisa melakukan keinginan dan impian yang begitu lama terpendam. Semoga aku bisa mulai mengumpulkan CD GrandFunk RailRoad yang lagu-lagunya baru kudengar di 97.05 fm itu. Amin

Thursday, May 20, 2004

Seeking new job

Kebosanan sudah mencapai titik klimaks. Beberapa teman, saudara, dan terutama bunda tersayang mengkhawatirkan apakah pekerjaan baru yang aku dapatkan memang lebih baik bagi aku atau tidak. Bagaimana pula dengan biaya hidup sebagai kaum urban? masuk ke pekerjaan baru berarti memulai dari nol lagi. dan bla bla bla...
Ini sudah kepalang basah, aku beberapa kali tidak masuk di pekerjaanku yang lama, lagipula dengan bertahan dalam kondisi seperti ini, mungkin bukan aku saja yang akan bermasalah, tapi 'pembawa' ku juga akan bermasalah.
Yah begitulah, tanggal 21 ini mungkin aku akan mengajukan surat pengunduran diri (semoga belum dipecat lebih dulu).

Tuesday, May 04, 2004

There She Goes

Sixpence None The Richer - There She Goes

There she goes
There she goes again
Racing through my brain
And I just can't contain
This feeling that remains
There she goes
There she goes again
Pulsing through my vains
And I just can't contain
This feeling that remains

There she goes (there she goes again)
There she goes again (there she goes again)
Racing through my brain (there she goes again)
And I just can't contain
This feeling that remains

There she goes

There she goes again
She calls my name
Pulls my train
No one else could heal my pain
And I just can't contain
This feeling that remains

There she goes (she calls my name)
There she goes again (she calls my name)
Chasing down my lane (she calls my name)
And I just can't contain
This feeling that remains

There she goes (there she goes again)
There she goes (there she goes again)
There she goes

Ini lagu mengingatkan aku dengan banyak hal. Kenangan kuliah, cerpen H. Umar Kayam, dan seseorang di Bandung yang nyaman.

Sunday, May 02, 2004

Merdeka

     Git, mulai hari ini, aku menjadi urban! seperti kamu, dan manusia-manusia lain, baik yang sudah maupun yang akan. Apa yang kita cari?

Seorang teman mengirim sebuah surat elektronik dan memulai pertanyaan dengan "Apa yang kita cari?" Adakah yang perlu dicari? Mencari apa?

Hidup, seperti kata Kurt Vonnegut, hanyalah seperiuk tai! Tak pernah benar-benar kupahami apa maksudnya, setidaknya yang kutangkap adalah, hidup ini begitu menjijikkan dan betapa semuanya hanya berputar-putar saja. Seperti tai, berasal dari makanan, diolah di perut, menjadi tai, terkburai tanah meresap menghidupkan tanaman, tanaman dimakan ayam, dan kita memakan ayam dan tanaman itu, hingga kemudian dicerna ulang di dalam perut, dan menjadi tai lagi. Betapa semuanya hanya berputar-putar saja.

Tak pernah ada yang baru di dunia ini. Konon, Tuhan hanya menciptakan roh manusia dengan jumlah yang tetap. Roh hanya berpindah saja, menempati tubuh hingga saatnya tubuh itu membusuk, lalu ia pergi dan kembali lagi dengan tubuh baru. Konon, roh manusia sudah mengenal satu sama lain, itulah mengapa kita terkadang merasa mengenal dengan baik seseorang yang baru kita lihat meski sebelumnya belum pernah sekalipun kenal. Itulah, karena roh manusia sebenarnya saling mengenal baik satu sama lain.

Tak pernah ada yang baru di dunia ini. Langit selalu biru dimanapun kita memandangnya di dunia ini (mungkin di Negeri Senja adalah pengecualian :P ) "Kehidupan baru" milik temanku itu juga sebenarnya bukanlah baru. Ia telah mengalaminya dulu. Bergelut dengan kapitalisme bukan kali ini saja, dari sebelum kita lahir, ternyata "kapitalisme" --istilah yang menyesakkan dada ketika masih senang berdemonstrasi-- sudah mengungkungi hidup. Susu bayi, pakaian, buku, dunia pendidikan, televisi, bla bla bla....

     Masihkah kita meributkan esensi? sedangkan dia terkungkung tak berdaya dalam eksistensi? Bukankah keduanya ada, tanpa kita harus repot-repot membedakan dan mengutamakan salah satu? Ah, begitulah setidaknya yang saya tangkap dari Mula Sadra. Yang kemudian oleh Syeh Siti Jenar dianjurkan untuk menerima hidup ini sebagai proses yang mesti kita lewati sebagaimana kodratnya. Dan, telah kita dapatkan wejangan Ki Ageng Suryametaram tentang hakikat "merdeka", kita pun harus merasa merdeka dengan keadaan seperti ini.

Ia menulis di alinea berikutnya. Tulisannya membuatku tercenung sesaat. Merdeka? Merasa merdeka? Ya...ya.. merasa merdeka lah yang jauh lebih sulit ketimbang merdeka itu sendiri.

Tuesday, April 13, 2004

Rendezvous

     Aku nggak tahu apa yang dimaksud dengan kata Rendezvous dalam kamus. Tapi sepertinya aku sering dengar/baca kata ini. Begitulah, kata orang-orang, ini semacam pertemuan kembali, mengenang masa yang telah silam, bla bla bla....
Kalaulah memang begitu artinya, maka aku baru saja Rendezvous di Purwokerto kota tercinta. Bertemu dengan teman-teman lama, ngobrol panjang lebar, mengenang masa lalu yang selalu terasa menyenangkan meski dulu itu bukanlah hal menyenangkan. Yah bukankah masa lalu memang menyenangkan untuk dibicarakan lagi?
     Lalu semuanya kembali ke rumah masing-masing ketika tengah malam. Semua punya kehidupan sendiri. Dan aku? Memilih pergi ke warnet milik teman, online semalaman, menunggu pagi dan siap pergi ke Bekasi lagi, dan siap menemui rutinitas kerja lagi. Ternyata ada lagu-lagunya The Cure di drive E! Wah... ini juga membawa ingatan ke masa lalu waktu masih asyik gedombrang gedombreng main musik.

Sunday, March 28, 2004

Telepon genggam

     Aku telah tertidur setidaknya satu jam saat telepon genggam berbunyi. Saat kuterima, terdengar suara yang begitu bersemangat. Suara di seberang mengajakku mengobrol panjang lebar tentang banyak hal. Mataku masih tertutup waktu aku merespon kata-katanya. Pekerjaan begitu menguras tenaga, dan aku merasa sangat lelah. Istirahat baru satu jam, dan telepon berbunyi. Bisa saja aku menutup telepon dan mengatakan aku harus segera tidur lagi, tapi aku rikuh mengatakannya.
Sepuluh menit kemudian, baru ia menyelesaikan obrolannya dan menutup telepon. Kantukku sudah benar-benar hilang. Sembari menyalakan rokok, aku berpikir banyak hal, berharap akan bisa segera tidur lagi.
Sejak saat itu, aku selalu mematikan telepon genggam sesaat sebelum aku tidur.
     Teknologi semakin maju membuat jarak dan waktu yang terasa menjadi kendala dalam interaksi manusia menjadi semakin menipis. Sangat tipis hingga seperti tak ada lagi masalah. Harga yang harus dibayar untuk itu adalah bahwa privacy individu menjadi terganggu. Dimanapun dan kapanpun orang-orang bisa terus saling berhubungan. Orang-orang saling menelepon, menanyakan berbagai hal dan saling membagi informasi. Sayangnya dengan telepon genggam, orang-orang yang menelepon itu seringkali tidak tahu apakah itu memang waktu yang tepat untuk menelepon. Lagipula, usaha sopan dengan menanyakannya apakah itu si penerima telepon sedang bersedia di telepon pun sebenarnya sia-sia saja. Bagaimanapun si penerima telepon telah mengangkat teleponnya, dan tentu saja, ia sudah terganggu.
     Lucunya sebagian orang tidak menyadari hal itu, bahwa teknologi telepon genggam telah mengurangi privacy individunya. Bahkan sebagian orang itu merasa begitu perlu untuk membawa telepon genggam kemanapun dan kapanpun. Sepertinya ia akan mati kalau alat komunikasi itu tidak berada di tangan barang satu menit saja.



     Kompas, Minggu 7 Des 2003, Kolom Asal Usul
tulisan Ariel Heryanto
............................
Bahasa tidak cuma menunjukkan bangsa, Ia juga bersaksi atas perubahan sejarah.
Dimanapun di dunia, ada pertanyaan basa-basi yang pernah 'universal' yakni 'Anda dari mana?'. Pertanyaan ini mengungkapkan kegagapan masyarakat abad ke-20 menghadapi gempuran globalisasi. Pertanyaan itu mengasumsikan ada kaitan erat antara identitas orang dan sebuah lokasi geografi. Seakan-akan di tempat A, semuar orang lebih kurang punya identitas A. Bajunya, bahasanya, seninya, makanannya, wataknya, semuanya serba A. Pemikiran seperti ini pernah menjadi dasar bangkitnya rasialisme. Juga dasar bagi bangkitnya konsep "bumi putra", "pribumi" dan "putra daerah" selain
"Asian Values".
......................
Globalisasi memungkinkan atau mengharuskan semakin banyak orang berpindah tempat dalam gelombang besar..........................

pertanyaan "kamu dari mana?" jadi kadaluwarsa. Sebagai gantinya "kamu di mana?" menjadi norma baru yang mendunia.
.......................
Bagi generasi internet dan SMS, "kamu di mana?" merupakan pertanyaan pembuka yang wajib dan rutin. Posisi geografis pemilik sebuah alamat e-mail atau nomor telepon tidak lagi tetap dan tidak selalu mudah ditebak. Sebuah percakapan hanya dilanjutkan hanya setelah posisi "di mana" menjadi jelas. Dan kisah berikutnya sangat ditentukan oleh faktor "di mana" tadi. Faktor "dari mana" menjadi tidak penting lagi.

Saturday, March 27, 2004

Pemilu


     Pemilu 2004 sudah begitu dekat. Kira-kira anda akan pilih partai mana? Semuanya menawarkan program plus embel-embel yang aku rasa hanya bullshit saja. Semuanya mengeluarkan suara-suara merdu dan menebarkan bau wangi dimana-mana. Bau wangi yang akan segera tergantikan oleh bau busuk. Sangat busuk!.
Apriori? Ya mungkin saja aku apriori. Tapi coba buka sejarah pemilihan umum di Indonesia. Pernahkah yang benar-benar demokratis dan memang lebih bertujuan ke kepentingan umum, bukan mendahulukan kepentingan golongan (partai)?


     Apakah anda akan memilih partai yang jelas-jelas mengandalkan 'hebatnya' hegemony Soeharto dan orde baru nya? Atau anda akan memilih partai yang sungguh nyata di depan mata kalau pimpinan paling atasnya sudah menjadi terdakwa dan nyata-nyata seharusnya mendekam di bui karena korupsi dan berbagai penyelewengan kekuasaan? Atau anda akan memilih partai yang sama sekali tidak belajar dari kepahitan masa lalunya dengan membiarkan para penjahat yang telah membunuhi para kader partai nya di Sekretariat mereka pada tahun 1997 lalu melenggang bebas tanpa ada usaha untuk memprosesnya secara hukum? Atau anda akan memilih partai yang meski berbeda dengan partai yang aku sebut pertama tadi, tapi sama-sama hanya berlindung di bawah kebesaran nama keluarga?
     Apakah memang benar-benar ada partai politik peserta pemilu 2004 Indonesia yang memang berkeinginan penuh dan mempunyai political will (bukan hanya lip service belaka) untuk memperjuangkan pemulihan kondisi Indonesia? Apakah memang benar-benar ada partai politik peserta Pemilu 2004 Indonesia yang mendahulukan kepentingan rakyat Indonesia daripada kepentingan golongan partainya? Apakah memang benar-benar ada partai politik yang mampu menahan tekanan baik dari dalam maupun dari luar partai untuk terus bertahan dengan visi dan misi partai untuk memperbaiki keadaan Indonesia?


     Konspirasi, koalisi, kolaborasi, permainan politik tingkat tinggi, bermain aman agar kedudukannya tidak bergoyang terlalu keras; seperti itukah perpolitikan Indonesia pasca runtuhnya rezim Soeharto?


     Baiklah, yang terang, Pemilu 2004 hanya berjarak beberapa kali putaran bumi saja. Apakah anda akan menggunakan hak suara anda dengan baik dan memilih partai yang anda pikir tepat untuk didukung?
Jika ya, selamat! Anda menjadi warga negara yang baik.
Jika tidak, selamat! Anda berani untuk berkata tidak kepada siapapun.


Terlepas dari apakah anda memilih atau tidak, aku yakin anda pun terus mengintip setiap perkembangan berita soal Pemilu 2004 di tv dan/atau membaca di koran/tabloid/majalah/bulletin/selebaran gelap.
     Ayo tebakan, partai mana yang akan menang?

Monday, March 01, 2004

Campaign

Ada foto seorang perempuan berkerudung. Wajahnya biasa saja. Dan memang sepertinya foto itu di scan ala kadarnya, tanpa usaha untuk menjadikannya lebih jernih, lebih bagus. Di bawah foto itu, ada tulisannya:

Hj. Nani Djauhari
Ketua Pemberdayaan Perempuan
DPD Partai Amanat Nasional Bekasi
Caleg no urut 1 Bekasi wilayang cikarang barat dan cibitung

Trus, disampingnya, tertulis dengan huruf besar:

MOHON DOA RESTU DAN DUKUNGAN
DARI MASYAKARAT CIBITUNG DAN CIKARANG BARAT
UNTUK MENCOBLOS TANDA GAMBAR PARTAI AMANAT NASIONAL
DAN HJ. NANI DJAUHARI


Tulisan dan foto itu menjadi stiker dan tertempel di beberapa angkutan umum di daerah cikarang.
Apakah itu salah satu bentuk pelanggaran UU Pemilu dalam hal pencurian start kampanye?
kalau memang iya, kemana harus melaporkannya? CETRO ? PEMILU Watch? atau kemana? Lalu sebenarnya, bagaimana prosesnya?

Misalpun memang pelanggaran itu dilaporkan? apa yang akan terjadi? Apakah Hj. Nani Djauhari itu akan mengalami sedikit masalah untuk berhasil menjadi anggota legislatif di DPRD Bekasi? Atau sebenarnya tidak akan terjadi apa-apa? Yah setidaknya, sebenarnya Hj. Nani Djauhari itu sama sekali tidak memedulikan soal pelanggaran itu, tapi lebih sibuk untuk kontak sana-kontak sini dalam rangka suksesi dia? Dan memang pelanggaran itu sama sekali bukan apa-apa.

Pemilu sebentar lagi akan berlangsung, perhelatan atas nama demokrasi kembali ramai. Sebagian besar orang Indonesia mungkin memang amat sibuk dengan itu, tapi sebagian lainnya, yang aku yakin cukup banyak, memilih untuk bersantai, lebih menikmatinya dengan hanya menonton keramaian persiapan pemilu dan kampanye tanpa harus ikut repot-repot bergabung dan kelak ikut masuk ke dalam bilik suara, dan mencoblos surat suara yang bermasalah itu, dan memasukkannya ke dalam kotak suara yang juga bermasalah itu. Beberapa orang yang bersantai itu, mengatakan dirinya masuk ke golput (golongan putih?)
tapi apakah memang yang putih itu putih?
dan aku termasuk di dalamnya.

Negeri Mendung

Bogor yang menyenangkan. Suasananya terasa melankolis. Mendung yang terlihat sejak bis masih melewati tol jagorawi seperti ekor si midas, serigala licik di cerita kartun.Sangat kontras dengan langit jakarta yang waktu itu begitu biru cerah.

Tiba-tiba begitu banyak hal yang terpikirkan, sayang ini bukan waktu yang tepat untuk menuliskannya.

Yah... Sukabumi.... aku menjejak tanahmu!

Monday, February 09, 2004

penat

lelah
capek
sumpek
kurang makan
kurang tidur
hmm....
apa lagi yah

entahlah

membaca e-mail
tersenyum
tertawa
kening berkerut
mesam-mesem
terkejut

mengapa begini ?
mengapa begitu ?

Ah... ya.... ada Seno disana
di minggu yang panjang
di dalam surat kabar
ada Seno Gumira Ajidarma disana,
menulis tanpa titik tanpa koma
bukan,..
bukan tanpa, tapi memang ada sangat sedikit saja
dan beberapa tanda tanya
silahkan kalau mau membaca di milis nya
(misal nggak ada, yaah....itu sialnya anda.)

Friday, February 06, 2004

Haunted

"hubunganku sedang memburuk," katanya di sela-sela hujan tadi siang.

"memburuk seperti apa?"

"yah...seperti itu lah. aku tiba-tiba saja menyadari kalau aku tidak lagi merindukan dia seperti tahun-tahun kemarin. Ini seperti... ya...seperti biasa saja."

Aku terdiam, membayangkan perjalanan kisahnya dari sejak masih sekolah dulu. Ingatan saat-saat dia tergila-gila kepada gadisnya itu, hingga hampir seluruh teman-temannya kerepotan. Ingatan ketika mereka akhirnya putus, kemudian menyambung kembali, dan putus lagi, dan menyambung lagi. Begitu heboh. Setidaknya untuk beberapa teman dekat, termasuk aku.

Aku merasakan bahwa secara perlahan, aku membuka baju, dan terjun kedalam pusaran arus sungai yang ia ciptakan. Sementara hujan turun sedikit-sedikit, membasahi kaca depan mobil untuk lalu meluncur turun ke atas kap mesin. Mesin mendesing lirih diantara bunyi klakson yang bersahutan.
Kuambil sebuah CD dari tasku, dan segera memutarnya agar situasi tak menjadi lebih buruk.

I hear the beating of your wings
And you're playing on my strings
In mysterious ways
You draw me in
To a love
Beyond all understanding


Ada hal yang harus dikatakan, ada pula yang tidak perlu dikatakan. Aku mengerti benar mengapa ia berlaku seperti itu, dan rasanya tidak perlu kukatakan. Perasaan memang bagian paling rumit diantara keseluruhan wujud manusia. Dan cinta termasuk di dalamnya.

"Kau tengah mengalami satu kejenuhan.." kataku pelan
"ya, kejenuhan yang menyesakkan,"
"Apa kau ingin aku melakukan sesuatu untuk membantumu?"
Matanya memandang ke depan, lepas dan terasa kosong. Helaan nafasnya terasa sangat berat.
"aku rasa tidak. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh orang lain."

Arus sungai terus menyeretku terbawa serta. Kepalaku serasa timbul tenggelam. Dadaku terasa begitu sesak. Lamat-lamat ku dengar lagi suara Ian Gillan,

I'm Haunted
Haunted
Is that what you wanted

All that's left
Is the ghost of your smile
It stays awhile
Then fades away




Thursday, January 22, 2004

Pedang dan Bulan-Bintang

Ada sesosok bulan-bintang yang tiba-tiba saja, pada suatu malam, sinarnya turun menyentuh tanah pada bumi. Menggariskan laksa sketsa putih pada sebilah pedang yang tertancap tajam di batu.
bulan-bintang itu ingin turun, dan memberikan segala sinarnya pada pedang itu. tapi....bukankah itu menyalahi hukum alam?
bila bulan-bintang turun, maka dapatkah pohon mempunyai bayang pada malam hari? dapatkah air laut bergolak karena tertarik gravitasinya? dapatkah seekor kera bercermin pada hulu sungai yang jernih dan terang saat matahari pergi entah kemana?
dapatkah bulan-bintang turun kebumi, merangkul pedangnya untuk hanya pedang itulah yang mendapatkan sinarnya?

pada malam yang penuh dengan pertanyaan.

Tuesday, January 20, 2004

Planet Krypton

East Jakarta, Jan 20 04

Sesaat setelah makan pada jam istirahat –tengah malam persis-, dengan rokok yang masih menyala, aku pergi ke jendela dan memandang kerlip lampu dari pabrik-pabrik, tiba-tiba aku merasa seperti Superman yang berada di planet krypton. Ide-ide untuk menulis yang sudah tertahan sejak dari rumah (rumah ???) mendadak lenyap.

Aku mengaduk-aduk isi otak dan mencoba menajamkan perasaan. Kupandangi areal pabrik yang tengah dibangun; lampu eskavator; gerak forklift; tajamnya lampu sorot,adakah yang dapatr membangkitkan kemampuan metaforisku?

Bagaimanapun aku tetap mengambil kertas dan pulpen dari saku celana. Meskipun akhirnya satu bait puisi selesai, aku tetap bingung kemana tujuan penulisanku dan siapa / apa yang terpikirkan?
Demi malam yang selalu berganti pagi, kekuatan apa yang dimiliki tempat ini hingga pikiranku sedemikian kuat terbelenggu?

Di mushalla yang sederhana, yang selalu dipakai beberapa orang untuk tidur ketika mendapat shift malam, sekali lagi aku mencoba menulis. Tetap saja tidak berhasil. Beberapa orang teman masuk, dan salah satunya merebahkan diri di sampingku,
"eh…aku boleh tanya sesuatu?"
"ya, tentu saja.” Kupandangi ia, mencoba menerka kira-kira apa yang akan keluar dari mulutnya"
"mmm…kamu, waktu kecil diajari agama nggak?"
Aku terkejut. Selama beberapa detik wajahku sepertinya sangat kaku. Lalu cepat-cepat kulemparkan senyum padanya.
"kenapa tanya soal itu?"
"ya…nggak pa-pa. Uh….nggak dijawab juga nggak pa-pa kok." Dia cepat-cepat mengubah harapannya dengan tetap menjaga intonasi yang pelan dan rendah.
"kalau begitu aku pilih untuk nggak menjawab." Kataku sambil tetap tersenyum.

Aku mengeluh dalam hati; kujelaskan dengan cara seperti apapun, kalian takkan dapat memahaminya.
Selera menulisku semakin hilang setelah itu. Aku mencoba telentang dan memandang langit-langit. Baru kusadari ternyata langit-langit pabrik ini dilapisi kertas berwarna perak mengkilat, mungkin semacam aluminium foil. Dan aku semakin merasa seperti Superman di planet krypton.

Friday, January 16, 2004

Ringan dan Berat

Jika setiap detik dari hidup kita berulang tanpa batas, kita terpaku pada keabadian seperti halnya Isa yang dipaku pada salib. Sebuah hal yang sangat mengerikan.
Dalam dunia dengan perulangan abadi, bobot tanggung jawab yang tak tertahankan terletak pada setiap gerakan yang kita lakukan. Inilah yang menyebabkan mengapa Nietzsche menyebut gagas perulangan abadi sebagai beban yang teramat berat ( das schweste Gewicht )
Apabila perulangan abadi adalah beban terberat, hidup kita akan terus berlangsung menurut cara yang sungguh enteng (atau berat).
Namun apakah beratnya hidup patut disesalkan dan entengnya hidup itu sungguh baik?
Beban-beban yang terberat menabrak kita, kita tenggelam di bawahnya, beban-beban itu menekan kita hingga ke bawah. Akan tetapi dalam sajak cinta sepanjang masa, wanita rindu ditekan tubuh pria. Oleh karenanya secara simultan beban terberat adalah suatu gambaran mengenai pemenuhan hidup yang paling intens. Semakin berat, semakin dekat hidup dengan dunia, semakin nyata dan benar pula hidup itu.
Tiadanya beban secara absolut menyebabkan orang menjadi lebih ringan daripada udara, terbang membubung ke angkasa, meninggalkan dunia dan hakikat duniawinya, dan menjadi setengah riil, gerakannya sebebas ketakberartiannya.
Manakah yang kita pilih? Yang berat atau yang ringan?
Parmenides pernah mengajukan pertanyaan ini pada abad ke enam sebelum Masehi. Ia melihat dunia terbagi dalam pasangan yang berlawanan : terang/gelap, halus/kasar, ada/tiada. Oposisi yang satu disebut positif (terang, halus, ada) dan yang lainnya negatif. Dengan entengnya kita dapat mengelompokkan pembagian ini ke dalam kutub positif negatif, tetapi yang paling sulit adalah menentukan mana yang positif dan mana yang negatif.
Parmenides menjawab: yang ringan positif, yang berat negatif.
Apakah dia benar atau salah? Itulah persoalannya. Satu-satunya kepastian adalah oposisi yang ringan/yang berat adalah oposisi yang paling berat dan yang paling ambigu.

Wednesday, January 14, 2004

Percintaan Kata-Kata

Aku mencoba melihat apa yang tak terlihat, membaca apa yang tersirat pada sekian banyak kata-kata yang muncul mencuat di layar bening berkedip, membawa bayanganmu, menyusunnya lewat serat dan menghadirkanmu dalam bentuk yang selalu saja tak pernah bisa terusung dengan sempurna dihadapanku. Terciptalah asa dan impian yang meski semu adalah menjadi indah untuk direbahkan diatas busa kasur sebagai teman saat mata terpejam.
Lembar demi lembar yang dihasilkan telah kususun menjadi sebuah buku bertumpukan dengan Jean-Paul Sartre, James Redfield, Franz Kafka, Michael Foucault, Plato, Socrates, Dorothe Rosa Herliany, dan Seno Gumira Ajidarma. Buku itu pula sama besar artinya dalam detik detik perjalananku karena kau memang telah pergi mengembara bersamaku menyongsong mentari pagi yang hangat diujung cakrawala dan mengambil potret seluruh senja jingga yang bertabur di bulir-bulir pasir yang tersapu air asin laut selatan;
dan katamu waktu itu, ‘Ini akan lebih indah bilia ada sebuah gitar untuk menyanyikan lagu cinta,’ Lalu aku bertanya, Lagu cinta milik siapa yang ingin kau dengarkan? The Beatless? Andy Williams? John Denver? Eric Clapton? Atau….lalu kuderetkan pada sepanjang pantai itu para nama penyanyi yang telah mengharumkan dunia melalui suaranya di Jazz hingga dangdut yang mendayu.
‘Terserah,’ matamu begitu sayu menatap buih yang hampir hilang jingganya.
‘Tapi bukankah kisah kita ada;ah sebuah lagu juga?’ kau masih saja tak menatap wajahku yang penuh harap terbelai gerai rambutmu. ‘Lalu mengapa kau bersusah payah mengaduk ingatanmu demi sebuah jiplakan?petiklah gitar itu dann nyanyikan untukku lagu cinta milik kita.
Aku terdiam. Maka berkumandanglah lagu kebisuan, lagu tanpa nada tanpa lirik, karena memang cintaku padanya hanyalah sebuah kebisuan.


- :: -


Percintaan kami, aku dan dia, adalah pertarungan kata-kata yang menjadi raja pada kegelapan dan berjeda saat matahari menaklukkan. Jual beli kemarahan dan kegembiraan tak pernah terjadi lama, setidaknya selalu kurang dari seperempat waku penamaan manusia, bukankah itu yang diajarkan agama???
Semuanya berlangsung begitu lama, sangat lama hingga kebosanan mencuat. Kegembiraan mendorong kami mendobrak batas fatamorgana memaksaa jarum jam berputar lebih lama. Kegembiraan memberi kekuatan untuk kami melawan terik matahari, menyelimuti tubuh dengan jubah yang jauh lebih tebal ketimbang yang telah ada agar kulit dan daging tak lekas terkelupas dan gosong.


dimana ada 'cinta' ?

Adakah cinta tercecer dimana-mana? Di taman, di dalam kamar, di rumah, di mobil, di pinggir jalan, di alun-alun, di tempat sampah, di pantai, di laut, di atas langit, di emperan toko? Adakah ?

Saturday, January 03, 2004

Surat dari Teman

seorang teman menulis dari dunianya yang masih penuh gemerlap. Aku merindukannya

Perempuan itu memburuku, dia mencariku sampai ke lubang hitam kehidupan. Matanya begitu tajam seperti mata kelelawar dimalam hari dengan keunggulan infra merahnya. Penciumannya seperti harimau kelaparan memburu mangsa. Gerakkannya seperti ular sawah yang menujijikan dan bau. Aku meninggalkannya, dalam akhir tahun yang buta. Aku tak memperdulikannya!

Seorang sahabat setia teronggok dalam tong sampah kapitalisme. Mengerang, menahan bau busuk dan gigitan serangga yang membunuh dengan pelan. Dia, tetap dia! Dan itu pasti! Meskipun telah mengunyam dengan tergesa-gesa pelajaran semantik. "Bahwa aku bukanlah aku".

Aku baca suratnya, lewat e-mail ini, dihari ketiga tahun 2004. Saat rembulan tampak separuh dengan cahaya kekuningan. Membaca suratnya membantuku mengaduk kenyataan yang ada dalam gagasanku. Dia mengatakan padaku, bahwa aku begitu mengingatkannya akan sesuatu hal. "Pengendalian diri!" itu yang di tulisnya. Kata itu membuatku seperti seorang petinju yang mendapat jotosan balasan tepat dirahang yang membuat terjatuh dan berfikir.

Bagaimana aku menggambarkan kerinduannya, akan kasur kumal, buku-buku berserakan, baju kotor yang teronggok disudut ruangan dan segunduk kenangan yang sudah menjadi sampah. Mungkinkah terulang, sedangkan waktu berjalan pelan menuju kematian?

Dia gunakan ajian pamungkas warisan kakek moyang, "Ilmu RagaSukma". Mungkin, yah mungkin ilmu itu yang menyeretku untuk menulis balasan suratnya, merindukan segala sesuatunya dan mungkin karena ilmu itu yang selalu saja membuat telingaku berdenging "....nging".

Setiap telinga berdenging, aku selalu mengaharap ada kebaikan. "Pengendalian diri" itulah kebaikan dari segala kebaikan. Yang tercantum dalam hukum-hukum Tuhan, tersurat dalam kitab-kitab lima agama, mengganggu para filsuf dari jaman ionia sampai sekarang. Menjadi pencarian segala manusia. Dan dia, mengingatkanku akan hal itu.

Berhentilah bertanya pada waktu, karena waktu sebenarnya tidak tahu apa-apa.


"Do, ndi bokepe?"
"Bentar Don, aku kirim e-mail dulu".