Neobux

Saturday, July 31, 2004

Perpisahan

Sebuah perpisahan tidak harus selalu dihubungkan dengan suka atau tidak suka.
Pertemuan, perpisahan,astaga, betapa semua ini menjadi bagian kehidupan. Kupikir aku selalu siap perbisah dengan siapapun wanita yang kutemui. Namun ketika saat perpisahan itu tiba, rasanya aku tidak pernah siap.
"Kita harus berpisah, kita tidak punya masa depan," begitulah kalimat itu selalu
"Apakah suatu hubungan tidak ada artinya, meski tidak akan menjadi apa-apa?"
"Kamu sangat berarti bagiku, tapi untuk apa semua ini, untuk apa?"
Aku sudah capek dengan perdebatan semacam itu. Aku ingin babak-babak kehidupan semacam itu berlalu dengan cepat. Kenyataannya, babak-babak semacam itu selalu datang lagi, nyaris seperti adegan ulangan. Toh, begitulah, perpisahan tidak pernah menjadi mudah.
............................................
Hubungan manusia seperti kontrak. Cepat atau lambat hubungan itu akan berakhir dengan perpisahan.

Saturday, July 24, 2004

Senja jingga



Senja sudah lewat, bukankah telah kukatakan padamu?
Senja lari ke barat dan tak pernah berhenti.
"dapatkah kau menunjukkan dimana barat, jika bumi memang serupa bulat?"
Senja tak pernah datang sejak 453 hari yang lalu. Sejak saat itu, yang menyemburat di langit akhir hari hanyalah gema dari kenangan akan senja.
Tapi senja sendiri tak pernah muncul.

P.s: Ada kabar burung mengatakan bahwa senja tak muncul karena sebenarnya senja telah dikerat oleh seukuran kartu pos dengan menggunakan pisau lipat oleh seseorang lalu dikirimkan melalui pos untuk seorang wanita keras kepala di ujung dunia.
Entah benar atau tidak, bisa jadi senja cuma sedang bosan membuat orang jatuh cinta dan sok romantis



     Apakah benar senja adalah pengakhiran hari?
Kurasa tidak. Bagiku senja adalah penggambaran matahari akan siang yang terlewat. Seindah apapun senja, ia takkan pernah menorehkan garis jingga yang sama dari satu masa yang terlewat. Sekelam apapun mega cakrawala barat, takkan pernah ia menjatuhkan air hujan yang sama.

     Perjalanan hidup, segetir apapun adalah jiwa yang terlahir sempurna. Roh kita lah yang terus setia mengembara. Mengorek setiap busuk daging yang tersimpan terlalu lama dalam gudang ingatan.
Bumi memang serupa bulat, maka itu kau akan senantiasa menyaksikan senja terpancar dari ufuk barat. Percuma pula kau menghitungnya dan mengendapkan setiap kepingan dari langit yang terbakar itu dalam otakmu. Keping bara yang terkumpul hanya akan menyisakan abu di setiap labirin sel otakmu. Biarkan saja senja melewat. Biarkan ia bercahanya indah, dan lebih indah saat alur sungai mengembalikannya padamu. Biarkan ia bersinar keemasan dan mengecap di setiap balur kaca gedung bertingkat angkuh kokoh tak bersahabat yang berjajar di jalan kota.

     Bilakah senja adalah pengakhiran hari, jika jarum jam telah lelah berputar di sumbunya, dan lagu-lagu mengalun menghanyutkan nafasmu yang tersengal menungu kabar. Dan aku masih saja terjaga untuk sesuatu yang mungkin pula tak kudapat.
Meski akulah raja kegelapan, pemakan derik jengkerik penghisap kelepar sayap kelelawar, tetap tak kupunya kekuatan untuk membawa matahari terbit dari barat. Boleh jadi mataku setajam pisau, namun apalah daya bila air yag kubelah?

     Semuanya telah berjalan, sebaik senja menghadirkan setiap kerat langit berjingga. Adakah yang dapat kita lakukan selain duduk mencangklong di teras rumah, memandang kerisik dedaunan dengan asap tembakau berhembusan dari tarikan nafas yang kian memberat....

Wednesday, July 14, 2004

11 tahun....

11 tahun lebih kami tidak saling bertemu.
Yang pertama aku ingat dari dia adalah, semua teman-teman SD waktu itu saling berburu untuk mengenal dia lebih dekat. Juga semua teman-teman tetangga. Semuanya mencoba menarik perhatian dia karena dia anak baru, dan karena dia cantik.
Masa yang kubanggakan adalah ketika aku menahan grogi setengah mati untuk membacakan puisi di depan teman-temanku di kelas 6 dan bersama dengan kelas 5, kelas dia. Akhirnya memang sukses, dan mataku tak pernah lepas dari wajahnya.
Yang kuingat adalah, ketika dengan begitu sedih, aku harus pindah SMP, sementara dia masih bertahan di SD. Aku harus pindah, jauh...

Semua keping ingatan masa kecil yang kadangkala begitu konyol saat diingat, kembali muncul. ketika...
"tak ada yang tak mungkin kalau kau niat..." kata temanku.
Apa iya? Apa aku begitu berniat? Tapi memang, berulang kali mencoba mencari informasi tentang dia pada akhirnya tak sia-sia.

Aku menemukannya, diantara kehangatan keluarga dengan dua keponakan lucu yang kembar. Aku menemukannya, terjebak di kemunafikan dan kesepian tanpa teman sebaya.
Lalu setelahnya, sms terus saja bersusulan.

Sementara ini, cukuplah saja kalimat-kalimat pendek itu yang menghadirkan dia.


Aku menemukan diriku, terjepit antara kerinduan masa lalu, angan masa depan, dan realita masa kini.


Aku menemukan diriku, ......merindukannya.

Tuesday, July 06, 2004

Friend Is A Four Letter Word

To me coming from you
Friend is a four letter word


Pernah satu kali aku tanyakan ke dosenku yang lulusan UK, apa maksudnya CAKE mengatakan kalimat itu di album Fashion Nugget yang dirilis tahun 1996 itu. Secara gramatikal yang kupelajari di kelas, kalimat itu tentu saja membingungkan. Four letter word harusnya menjadi Four letter words karena four adalah lebih dari satu alias jamak. Tapi kenapa tidak ada tambahan 's' nya? Dugaanku seketika adalah karena ini istilah atau ungkapan. Tapi apa?

Jawaban dosenku itu sangat sederhana.
"oh.. itu need."
"maksudnya apa pak?"
"ya need."
"need?"
"iya."

Butuh beberapa waktu untuk memikirkannya sebelum akhirnya aku tersenyum riang, N E E D. Itu empat huruf kan?

Maka jadilah.
Meski tidak sesederhana itu pemahaman kita masing masing tentang apa yang dimaksud dengan 'friend', namun CAKE sudah menyanyikannya dengan indah. Menjadi teman adalah selalu berada disisi mereka ketika sedih dan susah.

Dan disinilah aku sekarang, terpuruk lemas di kota sendiri, menjadi nomaden dan memang tak pernah aku merasakan betapa hangat sebuah rumah, a home. Mereka, teman-temanku lah yang selalu bersedia menghangatkan dinginnya sebuah keterasingan, selalu mengajakku bercanda tanpa pernah membuatku mendendam. Mereka lah yang selalu mengingatkanku bahwa aku tetap berharga untuk terus hidup.

Friday, July 02, 2004

Musim Berubah

Inilah saatnya musim berubah. Biru cerah warna langit dan awan gemawan yang beriringan lambat laun akan terganti dengan kelabu mendung pembawa derai hujan.

Ini sudah masuk ke Mangsa Ketiga. Musim yang terjadi diantara musim kering dan musim hujan. Pergantian cuaca begitu drastis. Tubuh yang rentan akan mudah sekali termasuki virus penyakit.

Upie juga lagi kena sakit. Kata dokter saat hari minggu petang lalu aku bawa dia ke klinik, itu adalah gejala usus buntu. Lalu hari selasa malam, sama ibunya Upie dibawa ke dokter spesialis penyakit dalam. Dan diagnosanya, gejala lever.
Tentu saja aku dan keluarganya cenderung lebih mempercayai si dokter spesialis itu karena dia memang sudah spesialis, karena obatnya lebih mahal 4 x lipat dari harga obat di klinik, karena obatnya memang lebih manjur. Karena kami harus mempercayai dia, sehingga dengan begitulah obat si dokter menjadi lebih mujarab.

Setiap mendengar kata 'penyakit lever', aku selalu ingat bapak. Aku selalu ingat raut muka kesakitan pada malam itu, malam dimana tak seorangpun yang ada di dalam kamar bapak mengetahui kalau ternyata bapak sudah setengah sadar, kalau ternyata bapak sudah koma.
Dan ia harus merasakan sakit itu semalaman, sebelum akhirnya pada esok harinya bapak baru di bawa ke rumah sakit dengan mobil pak camat.
Dan ia harus menyerah pada levernya yang sudah pecah setelah berjuang selama dua hari di rumah sakit.
Dan ia harus meninggalkan hanya sedikit kenangan untukku sebelum aku benar-benar mengerti betapa besarnya rasa kehilangan seorang bapak.

Aku selalu sedih mendengar kata 'lever'.
(percayakah kau, setiap saat aku bercerita ini, hujan turun rintik-rintik diantara bulu mataku.)