Neobux

Wednesday, December 31, 2003

Sebuah Surat Untuk Teman

East Jakarta Industrial Park, Dec 29 2003

Dialog kita Do, terakhir kali kita bersapa tanpa muka, sejujurnya memberikan aku sebuah gambaran tetang dua pilihan yang selalu hadir dalam dunia ini. Pilihan yang selalu bertolak belakang. Pilihan yang memaknai hidup. Dan pilihan itu hadir kedua-duanya di depanku, secara bersamaan dan tidak sekali saat pun memberikan aku kesempatan untuk memilih.
Kau katakan : jadilah cacing! Ah…maaf Do. Aku masih begitu picik hingga perlu berlama-lama untuk mengerti itu. Kucoba untuk mengaduk-aduk isi otak untuk sekedar memahami kalimatmu. Adakah yang terlewat? Padahal aku telah lelah menyusuri setiap lorong ingatanku ini. Maka bila waktu ku telah ingat dimana letak jadilah cacing itu, yang kutemukan adalah jawaban yang bersamanya muncul pertanyaan. Karena selalu saja Do, setiap upaya dekonstruksi menyimpan potensi untuk rekonstruksi. Ku pecah belah kata-katamu Do.
Bagaimanapun, aku harus berterima kasih untuk itu. Kalimatmu Do, kata-katamu justru mengingatkanku betapa sulit mengalahkan diri sendiri. Menguasai otak dan pikiran dengan hati nurani. Dengan esensi diri. Satu hal yang seharusnya telah kupelajari saat hutan-hutan kurambah dan puncak-puncak gunung kusambangi. Penguasaan diri!
Ah … mungkin kurang tepat kata itu. Pengendalian diri! Ya, mungkin itu lebih baik.
Demi semesta alam dan ragam manusia. Kau menjungkalkan aku dari upayaku untuk berdiri, Do.
Kau tahu dan paham bagaimana aku. Sat berkata dan bertindak. Kau tahu aku. Seperti sekarang ini, aku membuka konfrontasi halus dengan teman sekamarku yang kusebut ia feudal dan konservatic. Dan ia menyebutku kafir dan sok. Kami, hampir selalu berperang dingin untuk hal-hal ringan yang kurasakan adalah prinsipil.
Mungkin kau hanya akan tertawa satir untuk itu. Tapi inilah aku! Sensitive, egoistic.
Kubayangkan saja tangan kecil kurus ini meninju tepat di ulu hatinya, atau mungkin mukanya, diantara dua tulang pipinya. Meremukkan balung lunak hidungnya. Meski aku tak yakin apakah tubuh reot ini akan punya kekuatan menahan balasannya. Lebih dari kraguan jika akhirnya justru aku yang akan terjungkal. Tapi akan ada kepuasan yang terlahir. Rasa itulah yang terbuncah keluar. Anarkis? Rude? Memang. Dan itulah aku, Do. Aku yakin kau tahu itu.
Ah … rindunya aku padamu Do, hingga sukmaku meraga ke tempatmu, pada kasur kumal dan bau – karena entah berapa perempuan yang telah mengerang disana - dan apek baju kotor dan buku-buku yang berserakan.
Begitulah, sekali lagi harus kukatakan aku berterima kasih untukmu yang mengingatkanku agar menjadi cacing.