Pertengahan Desember lalu, ketika saya pulang dan (tentu saja) singgah di rumah besar stasiun kereta api, mendadak si Begu datang menagih.
"Mana jam tangan untukku?"
"Ha...??"
Tentu saja saya bingung. Saya merasa tidak pernah menjanjikan barang itu untuk dia. Tapi dalam perbincangan, beberapa menit berikutnya, dia mengingatkan saya kalau pada waktu yang sudah lewat saya pernah menjanjikan sebuah jam tangan untuk dia. Wah..!
Apa memang iya saya pernah menjanjikan itu? atau tidak? Tetapi si Begu ngotot benar berkata kalau saya pernah menjanjikan jam tangan untuk dia. Hm, kapan ya saya janji seperti itu? Wong saya sendiri tidak pernah beli jam tangan. Jam tangan yang sekarang saya pakai ini juga pemberian dari perempuan tercinta. Karena saya juga tidak pernah berpikir kalau jam tangan itu penting untuk dipakai. Lebih lebih karena tangan kiri saya sudah cacat karena kecelakaan beberapa tahun lalu, dan rasanya aneh saja kalau mengalungkan jam tangan di pergelangan. Saya tidak pernah berpikir bahwa jam tangan itu penting. Jadi, mengapa saya menjanjikan jam tangan untuk si Begu?
Kalau saja saya memang pernah menjanjikan sesuatu, tentu yang terpikir oleh saya bukan jam tangan. Mungkin buku, atau majalah, atau.... apapun selain jam tangan.
Tapi, yah bisa jadi saya memang lupa. Lupa kalau pernah menjanjikan jam tangan untuk si Begu.
Memang tidak jadi masalah kalau saya tidak membawa jam tangan untuk dia.
"OK, besok lagi kalau pulang ya." katanya.
"ya.. ya.. ya.. saya akan cari sebuah jam tangan untukmu."
Lalu kami ngobrol banyak hal. Dan banyak kalimat yang dia katakan sama sekali tidak saya paham. Bahasa isyarat yang dia pakai banyak yang belum dimengerti. Tapi intinya ya soal cewek di stasiun, cerita soal orang-orang di stasiun, petugas KA, dan sebagainya. Itu saja. Kehidupannya memang disitu saja.
Lalu pagi datang, kopi sudah dari tadi menjadi dingin. Rokok sudah berbatang-batang habis. Waktunya untuk pergi.
-------------------------------------------------------------------------------------
Esoknya ketika saya singgah lagi ke rumah besar, menunggu kereta yang akan membawa saya ke Jakarta, si Begu muncul dan mengingatkan,
"Jangan lupa, kalau pulang bawakan saya jam tangan"
Saya tertawa dan menganggukkan kepala.
"Ohya, jam tangan yang digital. Berwarna hitam."
Saya tertawa lagi dan menganggukkan kepala lebih dalam.
Sampai saya tulis ini, saya belum ketemu si Begu lagi.
No comments:
Post a Comment