Git, mulai hari ini, aku menjadi urban! seperti kamu, dan manusia-manusia lain, baik yang sudah maupun yang akan. Apa yang kita cari?
Seorang teman mengirim sebuah surat elektronik dan memulai pertanyaan dengan "Apa yang kita cari?" Adakah yang perlu dicari? Mencari apa?
Hidup, seperti kata Kurt Vonnegut, hanyalah seperiuk tai! Tak pernah benar-benar kupahami apa maksudnya, setidaknya yang kutangkap adalah, hidup ini begitu menjijikkan dan betapa semuanya hanya berputar-putar saja. Seperti tai, berasal dari makanan, diolah di perut, menjadi tai, terkburai tanah meresap menghidupkan tanaman, tanaman dimakan ayam, dan kita memakan ayam dan tanaman itu, hingga kemudian dicerna ulang di dalam perut, dan menjadi tai lagi. Betapa semuanya hanya berputar-putar saja.
Tak pernah ada yang baru di dunia ini. Konon, Tuhan hanya menciptakan roh manusia dengan jumlah yang tetap. Roh hanya berpindah saja, menempati tubuh hingga saatnya tubuh itu membusuk, lalu ia pergi dan kembali lagi dengan tubuh baru. Konon, roh manusia sudah mengenal satu sama lain, itulah mengapa kita terkadang merasa mengenal dengan baik seseorang yang baru kita lihat meski sebelumnya belum pernah sekalipun kenal. Itulah, karena roh manusia sebenarnya saling mengenal baik satu sama lain.
Tak pernah ada yang baru di dunia ini. Langit selalu biru dimanapun kita memandangnya di dunia ini (mungkin di Negeri Senja adalah pengecualian :P ) "Kehidupan baru" milik temanku itu juga sebenarnya bukanlah baru. Ia telah mengalaminya dulu. Bergelut dengan kapitalisme bukan kali ini saja, dari sebelum kita lahir, ternyata "kapitalisme" --istilah yang menyesakkan dada ketika masih senang berdemonstrasi-- sudah mengungkungi hidup. Susu bayi, pakaian, buku, dunia pendidikan, televisi, bla bla bla....
Masihkah kita meributkan esensi? sedangkan dia terkungkung tak berdaya dalam eksistensi? Bukankah keduanya ada, tanpa kita harus repot-repot membedakan dan mengutamakan salah satu? Ah, begitulah setidaknya yang saya tangkap dari Mula Sadra. Yang kemudian oleh Syeh Siti Jenar dianjurkan untuk menerima hidup ini sebagai proses yang mesti kita lewati sebagaimana kodratnya. Dan, telah kita dapatkan wejangan Ki Ageng Suryametaram tentang hakikat "merdeka", kita pun harus merasa merdeka dengan keadaan seperti ini.
Ia menulis di alinea berikutnya. Tulisannya membuatku tercenung sesaat. Merdeka? Merasa merdeka? Ya...ya.. merasa merdeka lah yang jauh lebih sulit ketimbang merdeka itu sendiri.
No comments:
Post a Comment