Friday, April 20, 2007
Laura -- sebuah masa
Saya pikir saya telah mengenal Laura Ingals Wilder. Tapi ternyata tidak. Ada banyak hal yang terlewatkan untuk saya bisa berkata "saya mengenal dia dengan baik."
Mengenal baik atau tidak tentu bukan berarti saya kenal dia, dan dia kenal saya. Bukan berarti juga bahwa saya dan dia telah saling bertemu, mengobrol banyak hal, dan saling bertukar alamat. Tentu saja tidak. Kecuali bahwa saya mampu menembus batas waktu dan pergi ke masa sewaktu dia hidup seabad lebih lalu di benua seberang yang begitu luas dan besar.
Begitulah. Tabir pembatas waktu tak pernah benar-benar menjadi jelas. Tabir itu begitu tipis setipis-tipisnya tipis. Seperti kabut yang menutupi pandangan, seperti tirai yang menjurai berkibar tertiup angin lembut. Begitulah, meski Laura Ingals Wilder telah berakhir hidupnya ketika saya sama sekali belum terdaftar untuk lahir menjadi manusia, dia masih hidup. Setidaknya dalam pikiran saya.
Entah pada umur berapa saya membaca buku karangan Laura Ingals Wilder. Mungkin tujuh, atau delapan, atau sepuluh. Entahlah. Ingatan saya begitu kabur untuk mengingat masa itu. Yang jelas, saya masih ingat saya menerima buku itu dari teman ibu saya. Saya membacanya dengan antusias. Dan selayaknya anak kecil, dalam keterbatasan ruang pikir, saya membayangkan tempat seperti yang dituliskan Laura Ingals Wilder. Saya membayangkan sebuah daerah di Benua Amerika yang hingga saat ini baru saya pahami melalui peta, televisi, dan majalah. Sebuah daerah yang begitu luas berisi padang ilalang, pohon ek yang menjulang tinggi dan besarnya lebih dari selingkaran rentang tangan orang dewasa, berisi ladang gandum.
Saya pikir saya telah mengenal Laura Ingals Wilder dengan baik dari dua buku karangannya yang sudah saya baca bertahun-tahun silam. Hingga akhir-akhir ini saya sering mengejek perempuan-saya-tercinta dengan berkata:
"Kau seperti Laura Ingals Wilder"
"Siapa itu Laura Ingals Wilder?" tanyanya
Saya cuma ketawa. Sayang sekali ia belum mengenal Laura Ingals Wilder. Tapi itu sama sekali bukan masalah. Karena kalau dihitung, mungkin jauh lebih banyak manusia di dunia yang tidak mengenal Laura Ingals Wilder daripada yang mengenalnya.
"Kenapa aku seperti Laura Ingals Wilder?"
"Karena kau selalu memberikan seluruh waktu di hari minggu mu untuk gereja, keluarga dan saudara."
Saya teringat buku karangan Laura Ingals Wilder. Ada dimana buku itu sekarang? Mungkin sudah hancur termakan rayap di satu gudang. Mungkin sudah berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Mungkin juga masih tersimpan rapi dan diberi sampul oleh seorang ibu yang dengan setia setiap malam membacakan setiap halamannya kepada anaknya sebagai dongeng pengantar tidur.
Dia hanya bersungut-sungut saja mendengar saya berkomentar seperti itu.
Saya pikir saya telah mengenal Laura Ingals Wilder dengan baik hingga akhirnya saya menemukan betapa banyak website menceritakan tentang dia. Seperti yang ini: http://webpages.marshall.edu/~irby1/laura/frames.html
Jika saja saya dapat menghentikan putaran waktu, menahan malam lebih lama dan saya punya waktu cukup panjang untuk membaca lebih jauh dan lebih banyak tanpa terpikir kalau besok pagi akan ada seseorang datang dan mengambil lembaran pekerjaan yang sedang saya selesaikan malam ini. Meski tentunya saya tidak perlu terlalu khawatir karena toh website dan tulisan-tulisan tentang Laura Ingals Wilder masih akan ada besok, dan besoknya lagi dan besoknya lagi. Masih akan ada anak-anak yang membaca bukunya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
dulu filmnya ditunggu2 kalo minggu siang :) bukunya juga sempat baca beberapa. paling berkesan dengan membuat gulali pakai salju. asik banget..
ReplyDeletelaura wilder? seriously? u read her books? gw blm smpt baca. cuma nonton. a simple family. d image of past time :p
ReplyDeletehmm salam kenal
ReplyDeletesaya malah sudah baca seluruh cerita laura
seluruhnya..
dan..
itu membuat masa kecil adalah masa yang paling indah dari seluruh masa hidup kita
sha