Bunga flamboyan di depan rumah itu kutanam sekitar 6 tahun lalu. Waktu itu dalam perjalanan pulang dari camping di tepi jalan ada penjual bunga yang tiba-tiba saja seperti menarik perhatian kami, 4 sekawan yang menyebut diri dengan bangga sebagai Ranger. Mendadak Si Pendek mengusulkan untuk masing-masing membeli bunga dengan jenis dan warna yang berbeda dan menanamnya dihalaman rumah. Bahkan lalu kami bertaruh bunga siapa yang paling awet nantinya.
"Ah.. konyol! kayak cewek aja nanam bunga segala macam!" Bilang Chief (ketua 5 sekawan kami) saat itu.
"Ya nggak laah...menanam bunga itu bukan soal cewek atau cowok!" Si Pendek (karena dia yang paling pendek diantara kami berlima) pemberi usul memotong dengan sengit.
Akhirnya memang kami bersepakat untuk datang ke penjual bunga itu dan setiap orang dari kami memilih satu bunga.
Aku memilih bunga flamboyan. Alasannya? entah. Asal memilih saja, dan memang ketika pertama kali kami memasuki halaman taman bunga milik si penjual itu, pandanganku jatuh menatapnya.
Enam tahun setelah setiap orang dari 4 sekawan menanam bunga di halaman rumah masing-masing, taruhan itu memang sudah terlupakan. Waktu yang lewat telah cukup panjang untuk merubah kehidupan kami. Apa yang ada di pikiran tinggal bagaimana mencukupi biaya hidup masing-masing. Chief sudah disibukkan dengan rengekan si kecil montok yang menggemaskan, Commander (si gentleman di 4 sekawan) pusing berpikir bagaimana bisa menutupi cicilan rumah yang tinggal beberapa kali, Si Pendek jumpalitan mengumpulkan pundi-pundi biar biaya pernikahannya beberapa bulan ke depan tak merepotkan orang tua. Dan aku sibuk menata kembali hidup yang rasanya semakin hari semakin berantakan.
Ingatan tentang taruhan soal bunga memang pernah sekali dua muncul ketika beberapa dari kami berkumpul, menyeduh kopi bersama dengan sebatang rokok terselip diantara jari.
Dari cerita yang terkumpul, ternyata tinggal dua bunga yang masih tumbuh di halaman. Satu milik Commander, dan satunya milikku. Sisanya telah memfosil dengan bermacam alasan. Chief sedari awal memang tak bersemangat menanam bunga, anggreknya dibiarkan melayu begitu saja. Sedang si pendek yang tadinya menggebu-gebu, akhirnya harus merelakan gladiol merahnya diambil orang tanpa seijinnya.
Tinggal dua yang bertahan. Aku dan Commander. Hanya saja, kalau milik temanku satu ini bunganya tumbuh dengan mekar segar, flamboyan milikku justru tak begitu terawat. Aku membiarkannya begitu saja selama ini dan anehnya ia bertahan hidup bertahun-tahun. Apalagi musim kering seperti ini, tanah tempat flamboyan tumbuh sudah seperti sawah yang tak terairi sepanjang musim. Kering dan berdebu. Sebagian akarnya bahkan telah menyeruak muncul ke permukaan. angin sedikit demi sedikit memindahkan setiap kepal tanah.
Beberapa waktu lalu ketika aku tiba di rumah, keadaan flamboyan itu sangat mengenaskan. Batangnya miring hampir menyentuh tanah meski dedaunannya masih hijau dan beberapa bunga masih tersisa. Pemandangan itu sangat mengenaskan. Entah kenapa, aku hanya merasa sayang karena bunga itu sudah kutanam lama, bukan karena memang aku betul suka dengan bunga itu. Dimataku bunga itu hanya satu dari sekian tanaman yang menghiasi halaman rumah.
Aku mengambil tiga potong belahan batang bambu, menancapkannya di sisi flamboyan, menegakkan kembali bunga itu dan mengikat batangnya ke potongan bambu itu dengan seutas tali. Darurat sekali. Aku bisa melakukannya lebih rapi dan lebih permanen, tapi rasanya malas sekali. Biar saja, pikirku.
Tahun-tahun depan, mungkin akhirnya Commander lah yang menang dalam taruhan menanam bunga. Karena boleh jadi mungkin inilah masa flamboyanku untuk meluruh ke bumi. Tapi, siapa yang tahu akan masa depan? Bisa jadi flamboyan di halaman rumah akan terus bertahan sampai tahun-tahun yang tak terhitung lagi. Sampai kami benar-benar lupa sama sekali soal taruhan menanam bunga. Ya siapa tahu...
andai satu dari 4 sekawan membaca cerita ini, mereka akan segera tahu kalau aku tak hanya bercerita soal bunga saja.
No comments:
Post a Comment