Neobux

Saturday, April 22, 2006

Djokdja....

: ipam


Bagi saya, Djokdja kemarin itu adalah cuma kamu. tanpa kamu, tidak ada djokdja dalam ingatan saya. Dan kebetulan waktu itu ada perasaan aneh "feeling blue" atawa "melo (melankoli)" menyerang saya. jadi yaah... begitulah.
Seperti saat ini, untuk kesekian kalinya saya terkena saturday-night syndrome. Perasaan ini tiba-tiba menjadi aneh, menjadi mudah sedih, gampang tersinggung dan menjadi marah.

Sekian jam di Djokdja waktu itu, sama sekali tidak memuaskan kehausan saya atas rindu menggebu yang saya pendam. Berhari-hari, berjam-jam sebelum akhirnya kita ketemu, saya --terusterang-- menyimpan banyak sekali keinginan dan harapan yang bisa kita wujudkan dalam --hanya-- sekian jam pertemuan. Tentu saja, karena saya menyadari betul kalau kita berdua mempunyai waktu yang sangat pendek. Kehidupan dan kepentingan kita sudah berbeda satu sama lain.

Apa yang saya khawatirkan ternyata benar terjadi, bahwa urusan-urusanmu yang sebenarnya sedikit itu akhirnya menyita banyak waktu karena tiap detik yang berlalu dialokasikan dengan kurang tepat.

Apa yang saya bayangkan tentang sebuah pertemuan kita adalah: ngobrol banyak hal dengan tenang, dengan secangkir kopi dan sebatang rokok terselip di tangan. mengingat banyak hal dari masalalu dan membicarakannya sambil tertawa-tawa, merenung, mengerutkan kening, tertawa lagi, terheran-heran.. dan banyak ekspresi lainnya. Kita juga ngobrol tentang apa yang kira-kira akan terjadi, membayangkan bila hal yang kita bayangkan itu benar-benar terjadi, menciptakan film pendek pada ruang yang kita bangun berdua dengan skenario yang kita susun bersama. Kita akan membicarakan rencana-rencana, angan-angan, cita-cita, khayalan. Dan juga ada diskusi tentang banyak hal serius dan berbau filosofis, sedikit mengenangkan sebuah rumah di kampung Pedan, Klaten.

Saya sebenarnya ingin egois. Merebut dirimu untuk hanya menjadi milik saya sendiri dalam sekian jam itu. Saya tidak rela untuk membagi dirimu dengan teman-teman lain. Tetapi tentu saja itu tidak akan berhasil. Dan pastinya bukan suatu kedewasaan. Dirimu juga dirindukan banyak teman-teman lain. Meskipun apa yang mereka inginkan sama sekali tidak saya sukai.

Djokdja masih saja berisi mahasiswi yang cara berpakaian dan lenggak lenggok gaya nya semakin eksotis, bar yang menyajikan minuman keras seharga puluhan sampai ratusan ribu, diskotek yang hingar-bingar, lesehan gudeg jalan solo dengan beberapa penjualnya yang dengan pura-pura tidak menyadari bahwa payudaranya dipertontonkan dengan sensual. Tetapi itu bukan Djokdja yang saya inginkan

Djokdja juga masih diramaikan dengan pentas seni berupa pembacaan puisi, teater, pameran fotografi, acara musik. Di banyak keremangan juga masih ada diskusi non formal dari wajah bersahaja dengan kaki dinaikkan satu ke atas kursi, menyeduh kopi panas, nyemil gorengan dan asap rokok kretek menguap dari terpal penutup seadanya di angkringan. Diskusi ngalor ngidul beragam topik, dari susahnya hidup sampai masalah politik. Mahasiswa, seniman, wartawan senior, politikus, semuanya hilang di bawah terpal itu. Semuanya melebur menjadi orang biasa.

Itu lah wajah Djokdja yang sebenarnya saya impikan. Tapi, begitulah. Saya tidak boleh menjadi arogan dengan membawamu paksa memasuki kehidupan dan ruang yang kita bangun hanya berdua. Teman-teman lain juga sabar menantimu membagi waktu dengan mereka.

Di Airport itulah, kantuk dan kepala yang terasa berat setelah bersloki-sloki minuman tertenggak semalaman, terpaksa dipinggirkan. Kita punya sisa waktu setengah jam untuk menuangkan perasaan, untuk meluapkan rindu. Hanya setengah jam itulah saya bisa menyandarkan berat beban tanpa harus mengatakan apapun.

No comments:

Post a Comment