Sekali lagi, pesawat minta korban. Garuda nyungsep dan kebul-kebul di pekarangan Bandara Adi Sucipto Djokdjakarta tanggal 07 Maret 2007 kemarin.
Tentu ini topik yang sedikit basi. Selain isu-isu lain sudah bermunculan di media massa, para penulis blog lain pun tentunya serentak mengangkat masalah satu ini, semisal pak pns ini.
Pertama kali saya dengar berita tentang Garuda terbakar dari teman kerja pagi sekitar jam 8.30 wib. Lalu spontan saya nyalakan tv. Ternyata benar, RCTI sedang menyiarkannya secara langsung. Sembari ngajar, saya langsung akses detik.com dan kompas online. Beberapa tulisan yang sudah muncul dan terupdate setiap beberapa menit itu saya kumpulkan dan dikirimkan ke beberapa teman yang hanya bisa menikmati akses internet sebatas berkirim mail atasnama perusahaan. Sayangnya, menjelang tengah hari koneksi internet terputus, dan berlanjut hingga beberapa hari sampai akhirnya saya minta teknisi dari Telkom datang untuk ngecek.
Seperti yang ditulis sama pak pns ini, saya juga berpikir hal yang sama. Asumsi harga murah=nyawa murah seperti yang terjadi di AdamAir sedikit banyak sudah runtuh. Ledekan yang pernah muncul di Republik Mimpi, Metro TV beberapa waktu setelah jatuhnya AdamAir (lupa penayangan yang mana) yang menyindir korelasi logo/nama perusahaan dengan denotasi penerbangan juga seperti terbungkam. Garuda=nama burung=tiketnya (pun) mahal.
-----
Yang saya herankan sampai saat ini, Hatta Radjasa masih saja punya muka untuk jadi menteri. Uh...tentu saja bukan murni salah dia kalau alat transportasi macam apapun celaka disana-sini. Tetapi sebagai menteri yang punya kuasa untuk menekan perusahaan penyedia jasa transportasi, tetap saja dapat dianggap dia telah gagal. Setelah AdamAir jatuh, seyogyanya si menteri satu itu mengeluarkan ancaman dengan pelaksanaan sepenuh hati untuk menekan para pengusaha transportasi termasuk yang berlabel BUMN agar memeriksa betul kelaikan alat transportasinya. Sehingga, jika pun terjadi lagi musibah, itu adalah karena faktor alam dan kuasa Tuhan. Bukan human error seperti yang selama ini sering terjadi.
Dengan dalih "keputusan ada di tangan pak presiden", menteri itu masih saja cuek nangkring di posisinya. Lha presidennya sendiri, entah karena alasan apa, masih juga mempertahankan menterinya.
Maka selama para menteri dan presiden Indonesia gagu seperti itu, mari kita semua untuk menahan diri tidak pergi kemana-mana dulu. Soalnya:
-Kalau naik pesawat, jelas berisiko tinggi meledak di udara, jatuh tanpa kendali, roda patah dan akhirnya terbakar.
-Kalau naik kapal, jelas berisiko tinggi untuk tenggelam atau terbakar habis, dan para penumpang tidak dikenali identitasnya karena datanya tidak ada di manifest karena kalau dimasukkan ke manifest semua otomatis si empunya kapal juga mesti bayar pemerintah lebih mahal (lagipula, pasti ketahuan kalau overload)
-Kalau naik kereta api, kemungkinan untuk gerbong lepas, gerbong terbalik, kereta keluar rel, kereta bertabrakan, kereta terbakar, itu tetap tinggi. Lha wong PT.KAI ngos-ngosan untuk biaya perbaikan (tapi tidak kalau buat menaikkan gaji direksi)
-Kalau naik bis, kemungkinan bisnya nubruk bis lain, diseruduk truk gandeng, masuk ke jurang, terbalik karena sopir tidak bisa mengendalikan laju kendaraan.
-Kalau naik mobil sendiri, kemungkinan dihajar mobil lain, bisa juga selip dan terjungkir karena direm mendadak karena ada bajaj nyelonong tanpa permisi. Sialnya lagi, meskipun sudah ekstra hati-hati di jalan raya, eh tiba-tiba ada yang nubruk entah dari depan, belakang atau samping.
Semua itu judulnya tetap sama : celaka.
so.. ndak usah kemana-mana deh. Mendingan di rumah saja dan ndak usah berangkat kerja. Kalau nanti boss tanya alasan ndak masuk kerja, kasih saja alasan : "saya belum ingin mati cepat-cepat boss"
Tentu ini topik yang sedikit basi. Selain isu-isu lain sudah bermunculan di media massa, para penulis blog lain pun tentunya serentak mengangkat masalah satu ini, semisal pak pns ini.
Pertama kali saya dengar berita tentang Garuda terbakar dari teman kerja pagi sekitar jam 8.30 wib. Lalu spontan saya nyalakan tv. Ternyata benar, RCTI sedang menyiarkannya secara langsung. Sembari ngajar, saya langsung akses detik.com dan kompas online. Beberapa tulisan yang sudah muncul dan terupdate setiap beberapa menit itu saya kumpulkan dan dikirimkan ke beberapa teman yang hanya bisa menikmati akses internet sebatas berkirim mail atasnama perusahaan. Sayangnya, menjelang tengah hari koneksi internet terputus, dan berlanjut hingga beberapa hari sampai akhirnya saya minta teknisi dari Telkom datang untuk ngecek.
Seperti yang ditulis sama pak pns ini, saya juga berpikir hal yang sama. Asumsi harga murah=nyawa murah seperti yang terjadi di AdamAir sedikit banyak sudah runtuh. Ledekan yang pernah muncul di Republik Mimpi, Metro TV beberapa waktu setelah jatuhnya AdamAir (lupa penayangan yang mana) yang menyindir korelasi logo/nama perusahaan dengan denotasi penerbangan juga seperti terbungkam. Garuda=nama burung=tiketnya (pun) mahal.
-----
Yang saya herankan sampai saat ini, Hatta Radjasa masih saja punya muka untuk jadi menteri. Uh...tentu saja bukan murni salah dia kalau alat transportasi macam apapun celaka disana-sini. Tetapi sebagai menteri yang punya kuasa untuk menekan perusahaan penyedia jasa transportasi, tetap saja dapat dianggap dia telah gagal. Setelah AdamAir jatuh, seyogyanya si menteri satu itu mengeluarkan ancaman dengan pelaksanaan sepenuh hati untuk menekan para pengusaha transportasi termasuk yang berlabel BUMN agar memeriksa betul kelaikan alat transportasinya. Sehingga, jika pun terjadi lagi musibah, itu adalah karena faktor alam dan kuasa Tuhan. Bukan human error seperti yang selama ini sering terjadi.
Dengan dalih "keputusan ada di tangan pak presiden", menteri itu masih saja cuek nangkring di posisinya. Lha presidennya sendiri, entah karena alasan apa, masih juga mempertahankan menterinya.
Maka selama para menteri dan presiden Indonesia gagu seperti itu, mari kita semua untuk menahan diri tidak pergi kemana-mana dulu. Soalnya:
-Kalau naik pesawat, jelas berisiko tinggi meledak di udara, jatuh tanpa kendali, roda patah dan akhirnya terbakar.
-Kalau naik kapal, jelas berisiko tinggi untuk tenggelam atau terbakar habis, dan para penumpang tidak dikenali identitasnya karena datanya tidak ada di manifest karena kalau dimasukkan ke manifest semua otomatis si empunya kapal juga mesti bayar pemerintah lebih mahal (lagipula, pasti ketahuan kalau overload)
-Kalau naik kereta api, kemungkinan untuk gerbong lepas, gerbong terbalik, kereta keluar rel, kereta bertabrakan, kereta terbakar, itu tetap tinggi. Lha wong PT.KAI ngos-ngosan untuk biaya perbaikan (tapi tidak kalau buat menaikkan gaji direksi)
-Kalau naik bis, kemungkinan bisnya nubruk bis lain, diseruduk truk gandeng, masuk ke jurang, terbalik karena sopir tidak bisa mengendalikan laju kendaraan.
-Kalau naik mobil sendiri, kemungkinan dihajar mobil lain, bisa juga selip dan terjungkir karena direm mendadak karena ada bajaj nyelonong tanpa permisi. Sialnya lagi, meskipun sudah ekstra hati-hati di jalan raya, eh tiba-tiba ada yang nubruk entah dari depan, belakang atau samping.
Semua itu judulnya tetap sama : celaka.
so.. ndak usah kemana-mana deh. Mendingan di rumah saja dan ndak usah berangkat kerja. Kalau nanti boss tanya alasan ndak masuk kerja, kasih saja alasan : "saya belum ingin mati cepat-cepat boss"
No comments:
Post a Comment