Neobux

Saturday, July 24, 2004

Senja jingga



Senja sudah lewat, bukankah telah kukatakan padamu?
Senja lari ke barat dan tak pernah berhenti.
"dapatkah kau menunjukkan dimana barat, jika bumi memang serupa bulat?"
Senja tak pernah datang sejak 453 hari yang lalu. Sejak saat itu, yang menyemburat di langit akhir hari hanyalah gema dari kenangan akan senja.
Tapi senja sendiri tak pernah muncul.

P.s: Ada kabar burung mengatakan bahwa senja tak muncul karena sebenarnya senja telah dikerat oleh seukuran kartu pos dengan menggunakan pisau lipat oleh seseorang lalu dikirimkan melalui pos untuk seorang wanita keras kepala di ujung dunia.
Entah benar atau tidak, bisa jadi senja cuma sedang bosan membuat orang jatuh cinta dan sok romantis



     Apakah benar senja adalah pengakhiran hari?
Kurasa tidak. Bagiku senja adalah penggambaran matahari akan siang yang terlewat. Seindah apapun senja, ia takkan pernah menorehkan garis jingga yang sama dari satu masa yang terlewat. Sekelam apapun mega cakrawala barat, takkan pernah ia menjatuhkan air hujan yang sama.

     Perjalanan hidup, segetir apapun adalah jiwa yang terlahir sempurna. Roh kita lah yang terus setia mengembara. Mengorek setiap busuk daging yang tersimpan terlalu lama dalam gudang ingatan.
Bumi memang serupa bulat, maka itu kau akan senantiasa menyaksikan senja terpancar dari ufuk barat. Percuma pula kau menghitungnya dan mengendapkan setiap kepingan dari langit yang terbakar itu dalam otakmu. Keping bara yang terkumpul hanya akan menyisakan abu di setiap labirin sel otakmu. Biarkan saja senja melewat. Biarkan ia bercahanya indah, dan lebih indah saat alur sungai mengembalikannya padamu. Biarkan ia bersinar keemasan dan mengecap di setiap balur kaca gedung bertingkat angkuh kokoh tak bersahabat yang berjajar di jalan kota.

     Bilakah senja adalah pengakhiran hari, jika jarum jam telah lelah berputar di sumbunya, dan lagu-lagu mengalun menghanyutkan nafasmu yang tersengal menungu kabar. Dan aku masih saja terjaga untuk sesuatu yang mungkin pula tak kudapat.
Meski akulah raja kegelapan, pemakan derik jengkerik penghisap kelepar sayap kelelawar, tetap tak kupunya kekuatan untuk membawa matahari terbit dari barat. Boleh jadi mataku setajam pisau, namun apalah daya bila air yag kubelah?

     Semuanya telah berjalan, sebaik senja menghadirkan setiap kerat langit berjingga. Adakah yang dapat kita lakukan selain duduk mencangklong di teras rumah, memandang kerisik dedaunan dengan asap tembakau berhembusan dari tarikan nafas yang kian memberat....

1 comment: